Showing posts with label hukum internasional. Show all posts
Showing posts with label hukum internasional. Show all posts

Tuesday, February 16, 2010

KEKEBALAN DIPLOMATIK ATAS DIPLOMAT DAN KELUARGANYA

Definisi

Kekebalan diplomatik adalah bentuk kekebalan hukum dan kebijakan yang dilakukan antara pemerintah, yang menjamin bahwa diplomat diberikan perjalanan yang aman dan tidak dianggap rentan terhadap gugatan atau penuntutan di bawah hukum negara tuan rumah (walaupun mereka bisa dikeluarkan). Disepakati sebagai hukum internasional dalam Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik (1961). Banyak prinsip-prinsip kekebalan diplomatik sekarang dianggap sebagai hukum adat. Kekebalan diplomatik sebagai lembaga yang dikembangkan untuk memungkinkan pemeliharaan hubungan pemerintah, termasuk selama periode kesulitan dan bahkan konflik bersenjata. Ketika menerima diplomat-formal, wakil-wakil dari berdaulat (kepala negara)-yang menerima hibah kepala negara hak-hak istimewa dan kekebalan tertentu untuk memastikan bahwa mereka dapat secara efektif melaksanakan tugas-tugas mereka, dengan pengertian bahwa ini akan diberikan pada dasar timbal-balik.

Sejarah

Selama evolusi keadilan internasional, banyak perang dianggap sebagai pemberontakan atau melanggar hukum oleh satu atau lebih pejuang sisi. Dalam kasus tersebut, para hamba yang "kriminal" berdaulat sering dianggap sebagai antek-antek yang martabatnya dilecehkan. Dalam situasi lain, pertanda tak berarti tuntutan tewas sebagai deklarasi perang. Herodotus mencatat bahwa ketika pembawa Raja Persia Darius Agung menuntut "bumi dan air", yaitu, simbol-simbol ketundukan, dari berbagai kota Yunani, orang Athena melemparkan mereka ke dalam lubang dan Spartan melemparkannya ke dalam sumur, yang menunjukkan mereka akan menemukan baik bumi dan air di bagian bawah.

Dalam tradisi Islam, seorang utusan tidak boleh dirugikan, bahkan jika datang dari musuh dan bantalan yang sangat provokatif atau pesan ofensif. Sebuah atribut hadits sunnah ini kepada waktu ketika utusan Musaylimah dikirim kepada Nabi Muhammad. Nabi mengatakan kepada mereka, "Aku bersumpah demi Allah bahwa sekiranya bukan karena utusan tidak mati, aku akan memotong kepala".

Diplomat dipandang sebagai seorang penyampai amanah yang harus dihormati, melanggar hal tersebut biasanya dipandang sebagai pelanggaran besar atas kehormatan, walaupun ada beberapa kasus di mana diplomat telah dibunuh. Jenghis Khan dan Bangsa Mongol yang dikenal sangat menekankan pada hak-hak diplomat, dan mereka akan sering mengambil pembalasan yang mengerikan terhadap negara manapun yang melanggar hak-hak ini.

Pada tahun 1538, Raja Francis I dari Perancis mengancam Edmund Bonner-Henry VIII's Duta Besar Inggris untuk Perancis dan mendapat pukulan seratus tombak berkapak sebagai hukuman karena Bonner dinilai berperilaku kurang ajar. Meskipun dalam hal ini hukuman itu tidak benar-benar dijatuhkan, peristiwa ini dengan jelas menunjukkan bahwa raja Eropa pada saat itu tidak menganggap duta besar asing kebal dari hukuman.

Awal Imunitas Modern

Dimulai sejak abad ke-16 dan 17 di Eropa dimana pertukaran perwakilan diplomatik sudah dianggap sebagai hal yang umum saat itu, hal mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik sudah dapat diterima dalam praktik negara-negara dan pada abad ke-17 sudah dianggap sebagai sebuah kebiasaan internasional. Kekebalan dan keistimewaan diplomatik tidak terbatas ada kepala perwakilannya saja, akan tetapi juga terhadap anggota keluarganya yang tinggal bersamanya, diplomat lain yang menjadi anggota perwakilan dan kadang-kadang staf pembantu lain.

Pada pertengahan abad ke 18, aturan-aturan kebiasaan hukum internasional mengenai kekebalan diplomatik mulai diterapkan termasuk harta milik, gedung dan sarana komunikasi para diplomat. Untuk menunjukkan kekebalan itu, dikenal istilah ekstrateritorialitas. Tujuan dari pengenaan ekstrateritorialitas itu adalah demi keperluan para perwakilan dalam menjalankan tugasnya dengan bebas dan optimal.

Pada abad ke 20, kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu cenderung mengarah pada bentuk baru komunikasi diplomatik. Adapun beberapa kodifikasi dan aturan dalam hukum diplomatik, terutama :

1.Konvensi Havana mengenai pejabat diplomatik.
2.Harvard Research draft convention on diplomatic priveleges and immunities tahun 1932.

Kekebalan diplomatik modern berkembang sejajar dengan perkembangan diplomasi modern. Pada abad ke-17, diplomat Eropa menyadari bahwa perlindungan dari tuntutan adalah penting untuk melakukan pekerjaan mereka dan satu set aturan berevolusi menjamin hak-hak para diplomat. Ini masih terbatas pada Eropa Barat, dan berhubungan erat dengan hak istimewa bangsawan. Dengan demikian seorang utusan ke Kekaisaran Ottoman dapat dipastikan akan ditangkap dan dipenjarakan atas pecahnya permusuhan antara negara dan kerajaan. Revolusi Perancis juga mengganggu sistem ini sebagai negara revolusioner dan Napoleon memenjarakan sejumlah diplomat yang dituduh bekerja melawan Perancis. Bahkan baru-baru ini, krisis sandera Iran secara universal dianggap sebagai pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik (sandera taker walaupun tidak secara resmi mewakili negara, negara tuan rumah mempunyai kewajiban untuk melindungi properti dan personel diplomatik). Di sisi lain, dalam Perang Dunia Kedua, kekebalan diplomatik itu ditegakkan dan dievakuasi melalui kedutaan-kedutaan negara-negara netral.

Pada abad kesembilan belas Kongres Wina menegaskan kembali hak-hak diplomat, dan mereka telah sangat dihormati sejak saat itu sebagai perwakilan dari suatu negara. Sistem yang itetapkan di Eropa ini telah menyebar di seluruh dunia. Saat ini, kekebalan diplomatik, serta hubungan diplomatik secara keseluruhan, diatur secara internasional oleh Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik yang telah diratifikasi oleh hampir setiap negara di dunia.


Landasan Hukum

Ada 3 teori mengenai landasan hukum dari kekebalan dan keistimewaan diplomatik, yaitu :

1. Teori ekstrateritorialitas
Diplomat dianggap seoalh-olah tidak meninggalkan negaranya. Teori ini didasarkan pada suatu fiksi dan bukan dari realitas sehingga banyak dikritik.

2. Teori representatif
Para pejabat diplomatik mewakili negara pengirim dan kepala negaranya, karena itulah ia mendapatkan hak istimewa dan kekebalan sebab dengan adanya pemberian itu, maka negara penerima dianggap menghormati kedaulatan negara pengirim. Teori ini berasal dari era kerajaan masa lalu. Meski demikian, pemberian hak-hak itu tidak memiliki batasan yang jelas dan acapkali menimbulkan kebingungan hukum.

3. Teori fungsional
Pemberian hak-hak kekebalan dan keistimewaan itu hanya didasarkan pada kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Teori ini dianggap dapat memberikan batasan atas semua hak-hak itu sehingga digunakan menjadi ketentuan dalam konvensi Wina 1961.


Kekebalan Dan Kewenangan Pejabat Perwakilan Diplomatik

Mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Inviolability
Diperuntukkan kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan terhadap semua gangguan yang merugikan serta mendapatkan perlindungan dari aparat negara yang berkepentingan.

b. Immunity
Kekebalan dari yurisdiksi negara penerima.
Kekebalan diplomatik adalah hal yang tidak dapat diganggu gugat, kekebalan diplomatik yang diberikan berdasarkan Konvensi Wina 1961 dapat dikelompokkan menjadi :

a. Kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik
Kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik dalam Pasal 29 Konvensi Wina 1961 disebutkan bahwa:

The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall not be liable to any form of arrestor detention. The receiving State shall treat him with due respect and shall take all appropriate steps to prevent any attack on his person, freedom or dignity.

Agen diplomatik tidak dapat diganggu-gugat. Dia tidak akan bertanggung jawab kepada setiap bentuk penangkapan dan penahanan. Negara penerima akan memperlakuannya dengan hormat dan akan mengambil semua langkah yang tepat apapun serangan terhadap dirinya, kebebasan atau martabat.

Kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik dapat diperinci menjadi empat bagian, antara lain:

1). Kekebalan terhadap kekuasaan negara penerima

Kekebalan dalam bentuk ini misalnya adalah kekebalan terhadap paksaan, penahanan dan penangkapan. Ketentuan ini memberikan petunjuk bagi alat-alat negara penerima untuk tidak melakukan hal-hal tersebut. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan pengertian yang terdapat dalam penjelasan Pasal 29 Konvensi Wina 1961.

a. Hak mendapatkan perlindungan terhadap gangguan atau serangan atas diri pribadi dan kehormatannya.

Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap gangguan, serangan atas kebebasan dan kehormatan diri pejabat diplomatik sebagaimana di Indonesia yang telah menjamin dan mengatur dalam Pasal 143 dan 144 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.

Pasal 143 KUHP menyebutkan:

“Penghinaan dengan sengaja terhadap wakil negara asing di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”

Pasal 144 KUHP menyebutkan:

1. Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap raja yang memerintah, atau kepala negara sahabat, atau wakil negara asing di Indonesia dalam pangkatnya, dengan maksud supaya penghinaan itu diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2. Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang tetap karena kejahatan semacam itu juga, ia dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

b. Kekebalan terhadap jurisdiksi pengadilan negara penerima diatur dalam Pasal 31 Konvensi Wina 1961, antara lain:

1. Seorang wakil diplomatik akan menikmati kekebalan dari pengadilan kriminil (pidana) dari negara penerima. Ia juga menikmati kekebalan dari pengadilan sipil dan administratifnya, kecuali dalam hal:

a. Tindakan nyata yang berhubungan dengan barang milik tak bergerak pribadi yang terletak di daerah negara penerima, kecuali apabila ia menguasainya atas nama negara pengirim untuk maksud misi;
b. Tindakan nyata yang berhubungan dengan penggantian, dalam mana wakil diplomatik itu terlibat sebagai pelaksana/administrator, ahli waris atau penerima harta pusaka sebagai perorangan dan tidak atas nama negara pengirim;
Tindakan yang berhubungan dengan kegiatan profesional atau komersial, yang dilakukan oleh wakil diplomatik di negara penerima, di luar fungsi resminya.

2. Wakil diplomatik tidak diharuskan memberi bukti sebagai saksi

3. Tidak boleh diambil tindakan pelaksanaan hukum terhadap wakil diplomatik kecuali dalam hal-hal yang datang di bawah sub-ayat (a), (b),dan (c) dari ayat (1) pasal ini, dan asalkan tindakan yang bersangkutan dapat diambil dengan tidak melanggar kekebalan pribadinya atau tempat kediamannya.

4. Kekebalan wakil diplomatik dari pengadilan negara penerima tidak membebaskannya dari pengadilan negara pengirim.
Kekebalan perwakilan diplomatik terhadap tuntutan pengadilan kriminil (31 Konvensi Wina 1961), bukan berarti bahwa seorang wakil diplomatik tidak menghormati dan menghargai undang-undang dan peraturan negara penerima. Tanpa mengurangi hak istimewa dan kekebalan diplomatik merupakan suatu kewajiban dari orang yang menikmati hak istimewa dan kekebalan untuk menghormati hukum-hukum dan peraturan-peraturan dari negara penerima. Di samping itu ia juga mempunyai kewajiban untuk tidak ikut campur urusan dalam negeri dari negara setempat.

Tuntutan sipil dalam bentuk apapun tidak dapat dilakukan terhadap seorang wakil diplomatik asing, dan tidak ada tindakan sipil apapun yang berhubungan dengan utang piutang dan lain-lainnya, yang serupa yang dapat diajukan terhadap wakil-wakil diplomatik di depan pengadilan-pengadilan sipil dari negara penerima. Wakil diplomatik tidak dapat ditangkap karena utang-utang mereka, juga terhadap alat-alat perkakas rumah tangga mereka, kendaraan bermotor dan lain-lain yang mereka miliki, disita untuk membayar utangnya.

c. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi

Pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 mengandung ketentuan sebagai berikut:

A diplomatic agent is not obliged to give evidence as a witness.

Artinya bahwa seorang wakil diplomatik tidak dapat dipaksa untuk bertindak sebagai seorang saksi dan untuk memberikan kesaksiannya di depan pengadilan, baik peradilan sipil atau perdata, peradilan pidana maupun peradilan administratif. Begitu pula para anggota keluarga dan para pengikutnya tidak dapat dipaksa untuk bertindak sebagai saksi di depan pengadilan sehubungan dengan yang mereka ketahui. Namun apabila dilihat dari segi untuk menjaga hubungan baik kedua negara, sebaiknya tidak dipegang secara mutlak dan pemerintah negara pengirimnya dapat secara khusus menghapus atau menanggalkan kekebalan diplomatik tersebut dengan pernyataan yang tegas dan jelas.

d. Kekebalan kantor perwakilan dan rumah kediaman perwakilan diplomatik:
Larangan mengganggu dan kewajiban memberikan perlindungan terhadap perwakilan diplomatik asing merupakan kesepakatan yang diakui secara universal dan telah dilakukan oleh negara-negara sejak jaman dahulu. Konsep ini merupakan akibat didirikannya misi diplomatik tetap di suatu negara yang mutlak memerlukan perlindungan terhadap campur tangan asing. Oleh karena itu, negara penerima berkewajiban memgambil segala tindakan yang diperlukan agar kantor ataupun rumah kediaman perwakilan diplomatik bebas dari segala gangguan.

Tidak diganggu–gugatnya gedung perwakilan asing suatu negara pada hakikatnya menyangkut dua aspek. Aspek pertama adalah mengenai kewajiban negara penerima untuk memberikan perlindungan sepenuhnya sebagai perwakilan asing di negara tersebut dari setiap gangguan. Aspek kedua adalah kedudukan perwakilan asing itu sendiri yang dinyatakan kebal dari pemeriksaan termasuk barang-barang miliknya dan semua arsip yang ada di dalamnya.
Pasal 22 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bahwa:

i. Gedung-gedung perwakilan asing tidak boleh diganggu-gugat. Alat-alat negara dari negara penerima tidak diperbolehkan memasuki gedung tersebut kecuali dengan izin kepala perwakilan;
ii. Negara penerima mempunyai kewajiban khusus untuk mengambil langkah-langkah seperlunya guna melindungi perwakilan tersebut dari setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan ketenangan perwakilan-perwakilan atau yang menurunkan harkat dan martabatnya;
iii. Gedung-gedung perwakilan, perabotannya dan harta milik lainnya yang berada di dalam gedung tersebut serta kendaraan dari perwakilan akan dibebaskan dari pemeriksaan, penuntutan, pengikatan atau penyitaan.

Pengaturan Pasal 22 ayat 1 dan 3, pada hakikatnya menyangkut kekebalan di dalam gedung perwakilan itu sendiri, termasuk perabotan harta milik lainnya dan kendaraan-kendaraan perwakilan. Sedangkan dalam ayat 2 berkenaan dengan kewajiban negara setempat guna melindungi perwakilan beserta isi di dalamnya yang tersebut dalam ayat 1 dan 3. Makna lain dari ayat 2 tersebut dapat diartikan menyangkut kekebalan di lingkungan gedung perwakilan itu sendiri. Karena itu perlindungan negara penerima yang diberikan bukan saja di lakukan di dalam gedung perwakilan (interna rationae) tapi juga di luarnya ataupun lingkungan sekitarnya (externa rationae).

Hubungannya dengan hak kekebalan dari gedung perwakilan asing, maka negara pengirim dibebankan suatu kewajiban khusus untuk mengambil tindakan-tindakan atau langkah-langkah yang dianggap perlu guna melindungi tempat kediaman dan tempat kerja perwakilan itu, terhadap setiap pemasukan yang tidak sah atau perbuatan pengrusakan serta melindungi perbuatan pengacauan terhadap ketentraman dari pada perwakilan asing atau dari perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kehormatan negara pengirim.

e. Kekebalan korespondensi (berkenaan dengan kerahasiaan dokumen).
Para pejabat diplomatik dalam menjalankan tugasnya mempunyai kebebasan penuh, dan dapat menjalankan komunikasi secara rahasia dengan pemerintahnya. Diakui secara umum bahwa kebebasan berkomunikasi juga berlaku bagi semua korespondensi resmi antara perwakilan dengan pemerintahnya, dan kebebasan ini harus dilindungi oleh negara penerima. Surat menyurat pejabat diplomatik tidak boleh digeledah, ditahan, atau disensor oleh negara penerima. Perwakilan diplomatik dapat menggunakan kode dan sandi rahasia dalam komunikasinya dengan negara pengirim, sedangkan instalasi radio dan operasi pemancar radio hanya dapat dilakukan atas dasar izin negara setempat. Kurir diplomatik yang berpergian dengan paspor diplomatik tidak boleh ditahan atau dihalang-halangi.

Pasal 27 Konvensi Wina 1961 menjamin komunikasi secara bebas dari misi perwakilan asing dengan maksud yang layak. Artinya hak untuk berhubungan dengan bebas ini adalah hak seorang pejabat diplomatik, di dalam surat-menyurat, mengirim telegram dan berbagai macam perhubungan komunikasi. Dan perhubungan bebas ini dapat berlangsung antara pejabat diplomatik dengan pemerintahannya sendiri atau pemerintah negara penerima maupun perwakilan diplomatik asing lainnya.

Pasal 27 ayat 1 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bahwa:
The receiving State shall permit and protect free communication on the part of the mission for all official purposes. In communicating with the Government and the other missions and consulates of the sending State, wherever situated, the mission may employ all appropriate means, including diplomatic couriers and messages in code or cipher. However, the mission may install and use a wireless transmitter only with the consent of the receiving State.

Adapun yang dimaksud adalah, negara penerima akan memberikan izin dan perlindungan untuk kebebasan berkomunikasi dari pihak perwakilan asing suatu negara, guna kepentingan semua tujuan resmi (official purposes) dari perwakilan asing tersebut yaitu dalam hal mengadakan komunikasi dengan pemerintah negara pengirim dan dengan perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler lainnya dari negara penerima, di mana saja tarletak dan perwakilan diplomatik itu diperbolehkan untuk menggunakan semua upaya-upaya komunikasi yang seperlunya, termasuk kurir-kurir diplomatik, diplomatic bags, dan alat perlengkapan seperlunya yang dipergunakan dalam mengadakan komunikasi tersebut.

f. Kekebalan dan keistimewaan di negara ketiga.
g. Penanggalan kekebalan diplomatik.
h. Pembebasan dari pajak dan bea cukai/bea masuk.

Berdasarkan pada konvensi Wina 1961 itu, kekebalan itu diberikan pada :
a. Pejabat perwakilan diplomatik.
b. Staf pribadi
c. Anggota keluarga pejabat diplomatik
d. Kurir diplomatik dan lainnya.

Penyalahgunaan Kekebalan

Konvensi Wina adalah eksplisit bahwa "tanpa prasangka terhadap hak-hak istimewa dan kekebalan mereka, itu adalah tugas semua orang menikmati hak istimewa dan kekebalan untuk menghormati hukum dan peraturan dari Negara penerima." Namun demikian, dalam beberapa kesempatan, kekebalan diplomatik mengakibatkan hasil yang malang; dilindungi diplomat telah melanggar undang-undang (termasuk orang-orang yang akan pelanggaran di rumah juga) dari negara tuan rumah dan negara yang telah dasarnya terbatas untuk menginformasikan kepada bangsa yang diplomat diplomat tidak lagi diterima (persona non grata). Agen diplomatik tidak Namun, dikecualikan dari yurisdiksi negara asal mereka, dan karenanya penuntutan dapat dilakukan oleh negara pengirim, karena pelanggaran kecil hukum, negara pengirim dapat menetapkan prosedur administratif yang spesifik untuk layanan atau luar negeri misi diplomatik.

Pelanggaran terhadap hukum oleh diplomat sudah termasuk spionase, penyelundupan, pelanggaran hukum perwalian anak, dan bahkan pembunuhan: di London pada tahun 1984, polisi Yvonne Fletcher tewas di jalan oleh orang menembak dari dalam kedutaan Libya. Insiden itu menyebabkan kerusakan dalam hubungan diplomatik sampai Libya mengakui "tanggung jawab umum" pada tahun 1999.

Minor espionages, atau mengumpulkan informasi dari negara-negara tuan rumah dilakukan di setiap kedutaan. Posisi tipikal petugas intelijen adalah sebagai Atase kedua, Visa Atase atau posisi lain tanpa tanggung jawab jelas. Di Amerika Serikat, ini adalah kebijakan dari Dinas Luar Negeri tidak untuk mengkonfirmasi atau menyangkal keberadaan personel intelijen di kedutaan besar AS.

Sebuah masalah khusus adalah kendaraan kekebalan diplomatik biasa peraturan lalu lintas seperti larangan parkir ganda. Terkadang, masalah tersebut mungkin mengambil giliran paling serius, ketika mengabaikan peraturan lalu lintas mengarah pada membahayakan tubuh atau kematian.

Contoh Kasus Cedera dan kematian

* Wakil Duta Besar Republik Georgia untuk Amerika Serikat, Gueorgui Makharadze, menyebabkan kecelakaan pada Januari 1997, empat orang terluka dan membunuh gadis berusia enam belas tahun. Dia ditemukan memiliki tingkat alkohol darah lebih dari 0,15, tetapi dibebaskan dari tahanan karena dia seorang diplomat. Pemerintah Amerika Serikat meminta pemerintah Georgia untuk menarik kembali kekebalan-Nya. Georgia me lakukannya dan Makharadze diadili dan dihukum karena pembunuhan oleh AS dan dijatuhi hukuman dua puluh satu tahun di penjara.

* Seorang Marinir Amerika yang melayani kedutaan di Bucharest, Rumaniam, bertabrakan dengan taksi dan membunuh musisi populer Rumania, Teo Petrus, pada 3 Desember 2004. Christopher Van Goethem, diduga mabuk, tidak menaati lalu lintas sinyal untuk berhenti, yang mengakibatkan tabrakan dari kendaraan miliknya, Ford Expedition, dengan taksi yang dinaiki bintang itu. Kandungan alkohol di darah Van Goethem diperkirakan 0,09 berdasarkan breathalyser tes, tetapi ia menolak untuk memberikan sampel darah untuk pengujian lebih lanjut dan berangkat ke Jerman sebelum kasusnya dapat diajukan di Rumania. Pemerintah Rumania meminta pemerintah Amerika mengangkat kekebalan atas diplomatnya, tetapi Amerika menolak untuk melakukannya.

* Seorang diplomat Rusia terakreditasi ke Ottawa, Kanada mengemudikan mobil dan menabrak dua pejalan kaki di jalan perumahan yang tenang pada bulan Januari 2001, menewaskan satu dan melukai serius yang lain. Andrey Knyazev sebelumnya telah dihentikan oleh polisi Ottawa pada dua kesempatan terpisah dan dicurigai memiliki gangguan mengemudi. Pemerintah Kanada meminta agar Rusia mengabaikan kekebalan diplomat, meskipun permintaan ini ditolak. Knyazev kemudian dituntut di Rusia untuk pembunuhan tidak disengaja, dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara.

* Seorang diplomat Amerika, Konsul Jenderal Douglas Kent, ditempatkan di Vladivostok, Rusia terlibat dalam sebuah kecelakaan mobil pada 27 Oktober 1998, yang menewaskan seorang pemuda, Alexander Kashin, menyebabkan kelumpuhan permanen. Kent tidak dituntut di pengadilan AS. Di bawah Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler 1963, kekebalan diplomatik tidak berlaku untuk tindakan sipil yang berhubungan dengan kecelakaan kendaraan. Namun, pada tanggal 10 Agustus 2006, Pengadilan Banding AS memutuskan bahwa karena ia menggunakan kendaraan sendiri untuk keperluan konsuler, Kent mungkin tidak dapat digugat secara sopan.

Berakhirnya Kekebalan Diplomatik

Kekebalan diplomatik dimulai sejak (menurut Oppenheimer-Lauterpact) :

Pemerintah negara penerima telah memberikan agreement pada sang calon dubes untuk diakreditasikan sebagai dubes di negara penerima. Kedubes negara tersebut di negara pengirim telah memberikan visa diplomatik Kedatangan pertama dubes itu telah diberitahukan pertama kali pada kementrian luar negeri negara penerima.


Kekebalan diplomatik berakhir sejak (menurut Starke):

Pemanggilan kembali dari negaranya, pemanggilan kembali atas permintaan negara penerima,
penyerahan paspor pada wakil dan staf serta para keluarganya sang diplomat pada pecahnya perang antara kedua negara yang bersangkutan, ketika selesainya masa tugas, dan ketika berakhirnya surat kepercayaan yang diberikan dalam jangka waktu tertentu yang telah ditentukan dalam kepercayaan.



SOURCE:
Disadur pada: Senin, 16 November 2009 pada 20:47pm
http://www.kaskus.us/showthread.php?p=119984776#post119984776
http://www.sigitfahrudin.co.cc/2009/04/macam-macam-hak-istimewa-dan-kekebalan.html
roysanjaya.blogspot.com/.../kekebalan-dan-keistimewaan-diplomatik.html
roysanjaya.blogspot.com/.../pengertian-sejarah-dan-sumber-hukum.html

Hukum Internasional dalam Hubungan Diplomatik

Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan azas-azas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara (hubungan internasional) antara negara dengan negara, antara negara dengan subyek hukum lain yang bukan negara, ataupun antara subyek hukum lain bukan negara satu sama lainnya.

Untuk memahami atau mengerti dengan sebaik-baiknya prinsip-prinsip pokok Hukum Internasional, maka pertama-tama harus diketahui apa yang menjadi definisi atau batasan dari Hukum Internasional itu sendiri. Definisi atau batasannya bukan sesuatu yang bersifat statis, melainkan bersifat dinamis sebab batasan atau pengertiannya senantiasa harus disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat internasional tempat di mana hukum internasional itu tumbuh, berkembang dan berlaku. J.G. Starke dalam bukunya Starke International Law mengemukakan definisi Hukum Internasional (International Law) sebagai berikut : Hukum Internasional adalah sekumpulan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari azas-azas dan peraturan-peraturan tingkah laku di mana negara-negara itu sendiri merasa terikat dan menghormatinya, dan dengan demikian mereka (negara-negara) itu juga harus menghormati atau mematuhinya dalam hubungannya satu sama lain, dan yang juga mencakup :

a)Peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya, hubungan antara organisasi internasional dengan negara serta hubungan antara organisasi internasional dengan individu.
b)Peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non state entities) sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara itu bersangkut paut dengan persoalan masyarakat internasional.

Subyek-subyek hukum dapat melakukan interaksi atau hubungan satu sama lain, baik hubungan antara negara dengan negara, negara dengan organisasi internasional, organisasi internasional yang satu dengan organisasi internasional lainnya, negara ataupun organisasi internasional dengan subyek hukum lain seperti pihak belligerensi, korporasi (nasional dan multinasional) maupun individu, semuanya ini dapat menjadi aktor-aktor penting dalam masyarakat dunia yang dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional. Melalui hubungan yang dilakukan oleh subyek-subyek hukum internasional baik hubungan antarsesama subyek hukum internasional maupun hubungan dengan yang bukan sesamanya, pada akhirnya akan melahirkan azas-azas serta kaidah-kaidah hukum internasional.

Dalam prinsip hukum internasional ada yang dinamakan konsep “jus cogens”, yaitu serangkaian prinsip atau norma yang tidak dapat diubah, yang tidak boleh diabaikan, dan yang karenanya dapat berlaku untuk membatalkan suatu traktat atau perjanjian antara negara-negara dalam hal traktat atau perjanjian itu tidak sesuai dengan salah satu prinsip atau norma tersebut. Ada suatu karakteristik tambahan dari norma jus cogens yaitu bahwa norma itu “ hanya dapat diubah oleh norma hukum internasional yang timbul kemudian yang juga memiliki karakter yang sama”. Terdapat beberapa analogi antara jus cogens dan prinsip-prinsip kebijaksanaan umum yang dalam sistem common law dapat menyebabkan batalnya suatu kontrak apabila kontrak tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ini, seperti prinsip bahwa para pihak tidak boleh meniadakan yurisdiksi pengadilan-pengadilan umum dalam perjanjian mereka.

Prinsip Hukum Internasional terhadap Hubungan Diplomatik dan Konsuler

Pengertian hukum diplomatik masih belum banyak diungkapkan, karena pada hakekatnya hukum diplomatik merupakan bagian dari Hukum Internasional yang mempunyai sebagian sumber hukum yang sama seperti konvensi-konvensi Internasional.

Diplomasi merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negoisasi antara wakil-wakil yang sudah diakui. Praktik-praktik negara semacam itu sudah melembaga sejak dahulu dan kemudian menjelma sebagai aturan-aturan hukum internasional. Namun pengertian secara tradisional kata ‘hukum diplomatik’ digunakan untuk merujuk pada norma-norma hukum internasional yang mengatur tentang kedudukan fungsi misi diplomatik yang dipertukarkan oleh negara-negara yang telah membina hubungan diplomatik, lain halnya dengan pengertian-pengertian sekarang yang bukan saja meliputi hubungan diplomatik dan konsuler antarnegara, tetapi juga keterwakilan negara dalam hubungannya dengan organisasi-organisasi internasional.

Dari pengertian sebagaimana tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan adanya beberapa faktor yang penting yaitu hubungan antara bangsa untuk merintis kerjasama dan persahabatan, hubungan tersebut dilakukan melalui pertukaran misi diplomatik termasuk para pejabatnya. Dengan demikian, pengertian hukum diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip tersebut dituangkan didalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional.

Dalam perkembangannya, hukum diplomatik mempunyai ruang lingkup yang lebih luas lagi bukan saja mencakupi hubungan diplomatik antarnegara, tetapi juga hubungan konsuler dan keterwakilan negara dalam hubunganya dengan organisasi-organisasi internasional khususnya yang mempunyai tanggungjawab dan keanggotaannya yang bersifat global atau lazim disebut organisasi internasional yang bersifat universal. Bahkan dalam kerangka hukum diplomatik ini dapat juga mencakupi ketentuan-ketentuan tentang perlindungan keselamatan, pencegahan serta penghukuman terhadap tindak kejahatan yang ditujukan kepada para diplomat.

Para pejabat diplomatik yang dikirimkan oleh sesuatu negara ke negara lainnya telah dianggap memiliki suatu sifat suci khusus. Sebagai konsekuensinya, mereka telah diberikan kekebalan dan keistimewaan diplomatik, ini merupakan aturan kebiasaan hukum internasional yang telah ditetapkan, termasuk harta milik, gedung dan komunikasi. Untuk menunjukkan totalitas kekebalan dan keistimewaan diplomatik tersebut, terdapat 3 teory yang sering digunakan dalam hal ini, yaitu; exterritoriality theory, representative character theory dan functional necessity theory. Sifat dan prinsip tersebut itu diberikan kepada para diplomat oleh hukum nasional negara penerima. Pemberian hak-hak tersebut didasarkan resiprositas antarnegara dan ini mutlak diperlukan dalam rangka:

Mengembangkan hubungan persahabatan antarnegara, tanpa mempertimbangkan sistem ketatanegaraan dan sistem sosial mereka berbeda. Bukan untuk kepentingan perseorangan tetapi untuk menjamin terlaksananya tugas para pejabat diplomatik secara efisien terutama dalam tugas dari negara yang mewakilinya.

Kekebalan dan keistimewaan diplomatik akan tetap berlangsung sampai diplomat mempunyai waktu sepantasnya menjelang keberangkatannya setelah menyelesaikan tugasnya di sesuatu negara penerima. Namun negara penerima setiap kali dapat meminta negara pengirim untuk menarik diplomatnya apabila ia dinyatakan persona non grata.

Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik

Setelah berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya pengembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya mengenai ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik yang telah digariskan secara rinci.

Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara. Di samping itu, juga terdapat 2 protokol pilihan mengenai masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk menyelesaikan sengketa yang masing-masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa.

Pasal 1-19 Konvensi Wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan surat-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Dubes); pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi misi-misi diplomatik termasuk di dalamnya pembebasan atas berbagai pajak. Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada para diplomat dan keistimewaan bagi anggota keluarganya serta staf pelayanan yang bekerja pada mereka dan pasal 48-53 berisi tentang berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya Konvensi itu.

Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler (UU No. 1 Tahun 1982 Tanggal 25 Januari 1982) yaitu :

a. Pasal 5 tentang Fungsi-fungsi konsuler, ayat (a) :
protecting in the receiving State the interests of the sending State
and of its nationals, both individuals and bodies corporate, within
the limits permitted by international law

melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim dan kepentingan-kepentingan warganegaranya yang berada di negara penerima, baik perseorangan maupun badan-badan hukum, dalam batas-batas yang dibenarkan oleh Hukum Internasional;
dan ayat (e) :

helping and assisting nationals, both individuals and bodies
corporate, of the sending State

menolong dan membantu warga negara negara pengirim baik perseorangan maupun badan-badan usaha.

b. Pasal 36 tentang Komunikasi dan Mengadakan Hubungan dengan Warganegara dari Negara Pengirim, ayat (1b) :

if he so requests, the competent authorities of the receiving State
shall, without delay, inform the consular post of the sending State
if, within its consular district, a national of that State is
arrested or committed to prison or to custody pending trial or is
detained in any other manner. Any communication addressed to the
consular post by the person arrested, in prison, custody or detention
shall also be forwarded by the said authorities without delay. The
said authorities shall inform the person concerned without delay of
his rights under this sub-paragraph

yaitu apabila pejabat konsuler menghendaki, maka instansi-instansi yang berwenang negara penerima harus memberitahukan kepada perwakilan Konsuler dari negara Pengirim secepatnya apabila, diwilayah konsulernya, ada seorang warganegara pengirim ditangkap atau dimasukkan penjara atau ditaruh dibawah pengawasan menunggu sampai diadili atau dengan suatu cara lain ditahan.

c. UU no. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Bab. V tentang Perlindungan kepada Warganegara Indonesia, khususnya Pasal 19 ayat (b) yaitu : Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum bagi warganegara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.

TEORI OKUPASI TERITORIAL

Penguasaan suatu wilayah teritorial merupakan salah satu unsur pokok dari status kenegaraan. Di dalam wilayah tersebut otoritas tertinggi terletak pada negara terkait. Karena hal tersebut, maka muncullah sebuah istilah kedaulatan teritorial. Kedaulatan teritorial memiliki definisi bahwa di dalam wilayah yang disebut wilayah teritorial tersebut yurisdiksi yang dilaksanakan oleh negara atas penduduknya dan harta benda yang terdapat di dalamnya merupakan hukum dari negara yang bersangkutan, bukan hukum negara lain.

Kedaulatan teritorial dilukiskan oleh Max Huber, Arbitrator dalam Island of Palmas Arbitration, dengan kalimat:

“Kedaulatan dalam hubungan antara negara-negara menandakan kemerdekaan. Kemerdekaan berkaitan dengan suatu bagian dari muka bumi adalah hak untuk melaksanakan di dalamnya, terlepas dari negara lain, fungsi-fungsi suatu negara.”

Diperolehnya Kedaulatan Teritorial

Lima cara tradisional dan pada umumnya diakui untuk diperolehnya kedaulatan teritorial adalah: okupasi, aneksasi, penambahan (accretion) wilayah, preskripsi (prescription) dan penyerahan (cession). Cara-cara ini secara langsung beranalogi pada metode-metode hukum sipil mengenai kepemilikan pribadi. Cara-cara diperolehnya wilayah ini telah banyak berkurang menjadi dipertunjukannya suatu kontrol dan kewenangan baik oleh negara yang mengklaim kedaulatan ataupun oleh suatu negara dari mana negara yang mengklaim kedaulatan dapat membuktikan bahwa hak tersebut telah dirampas.

Satu cara tambahan diperolehnya kedaulatan teritorial, yang tidak termasuk dalam kategori yang dikemukakan di atas, yang perlu diperhatikan yaitu keputusan oleh Konferensi negara-negara. Hal ini biasanya terjadi apabila suatu Konferensi negara-negara pemenang perang pada akhir peperangan menyerahkan kepada negara tertentu sehubungan dengan suatu penyelesaian perdamaian umum. Misalnya pada pembagian kembali wilayah Eropa pada waktu Konferensi Versailles tahun 1919. Menurut doktrin Soviet, kedaulatan teritorial juga dapat diperolah dengan cara plebisit (penentuan kehendak rakyat), meskipun hal ini tampaknya lebih merupakan pengurangan atas cara perolehan dibanding sebagai langkah yang mendahului diperolehnya kedaulatan.

Pendekatan cara-cara perolehan dengan penciptaan dan pengalihan kedaulatan teritorial keduanya adalah logis baik dalam hal prinsip maupun nilai praktisnya, dengan ketentuan bahwa dalam menggunakan pendekatan ini diperlukan kehati-hatian agar tidak mengacaukan cara-cara tersebut dengan unsur-unsur komponennya.

Okupasi (Occupation)

Okupasi merupakan penegakan kedaulatan atas wilayah yang tidak berada di bawah penguasaan negara manapun, baik wilayah yang baru ditemukan, ataupun yang ditinggalkan oleh negara yang semula menguasainya. Secara klasik, pokok permasalahan daru okupasi adalah terra nullius, dan wilayah yang didiami oleh suku-suku bangsa atau rakyat-rakyat yang memiliki organisasi sosial dan politik tidak termasuk dalam terra nullius. Apabila wilayah daratan didiami oleh suku-suku bangsa yang terorganisir, maka kedaulatan teritorial harus diperoleh dengan membuat perjanjian-perjanjian lokal dengan penguasa setempat.

Dalam Eastern Greenland Case, Permanent Court of International Justice menetapkan bahwa agar okupasi berjalan secara efektif, mensyaratkan dua unsur di pihak negara yang melakukan okupasi:

1.Suatu kehendak atau keinginan untuk bertindak sebagai yang berdaulat,
2.Melaksanakan atau menunjukkan kedaulatan secara pantas.

Dalam kasus yang disengketakan di atas, hak atas Eastern Greenland dipersengketakan antara Denmark dan Norwegia, dan Denmark mampu membuktikan keadaan-keadaan yang memperlihatkan adanya kedua unsur tersebut pada pihaknya.

Unsur kehendak merupakan masalah kesimpulan dari semua yang fakta, meskipun kadang-kadang kehendak tersebut dapat secara formal ditegaskan dalam pengumuman resmi kepada negara-negara lain yang berkepentingan. Syarat kedua yang menyebutkan bahwa pelaksanaan dan dipertunjukkannya kedaulatan dapat dipenuhi dengan bukti kongkret kepemilikan dan kontrol, atau sesuai dengan sifat kasusnya, suatu asumsi fisik dari kedaulatan dapat dipertunjukkan dengan suatu tindakan yang jelas atau simbolis. Dapat juga dengan langkah-langkah yang berlaku di wilayah yang diklaim, ataupun melalui traktat-traktat dengan negara-negara lain yang mengakui kedaulatan negara penuntut tersebut.

Suatu tindakan okupasi lebih sering mencakup tindakan penemuan di dalam tahap awalnya. Hal ini tampak dari Island of Palmas Arbitration yang telah dikemukakan, yang diputuskan oleh Max Huber selaku Arbitrator, bahwa suatu tindakan yang hanya bersifat menemukan semata-mata oleh suatu negara dan tidak lebih dari itu tidak cukup untuk memberikan hak okupasi, dan bahwa kepemilikan yang tidak lengkap tersebut harus mengarah kepada suatu otoritas nyata yang berlangsung terus-menerus dan secara damai oleh negara lain. Dalam arbitrasi ini, persaingan hak terjadi antara Amerika serikat yang mengajukan sebagai pengganti Spanyol yang paling awal menemukan pulau tersebut. Arbitrator menyerahkan pulau tersebut kepada Netherlands, karena dianggap berdasarkan bukti sejarah yang dikemukakan jauh lebih dulu pada Mahkamah Arbitrase dan telah cukup lama menjalankan kedaulatannya di pulau tersebut.

Ada dua teori okupasi yang paling dianggap memeiliki arti penting dalam kaitannya mengenai klaim-klaim beberapa negara atas wilayah tak bertuan:

1.Teori Kontinuitas (Continuity), menurut teori ini dimana suatu tindakan okupasi di suatu wilayah tertentu memperluas kedaulatan negara yang melakukan okupasi sejauh diperlukan untuk menjamin keamanan atau pengembangan wilayah terkait.

2.Teori Kontiguitas (Contiguity), menurut teori ini kedaulatan negara yang melakukan okupasi tersebut mencakup wilayah-wilayah yang berbatasan yang secara geografis berhubungan dengan wilayah terkait.

Kedua teori tersebut sampai tingkat tertentu tercermin dalam klaim-klaim yang diajukan oleh negara-negara terhadap wilayah kutub berdasarkan prinsip sektor (sector principles). Dengan klaim-klaim berdasarkan prinsip ini, beberapa negara yang wilayahnya berbatasan dengan daerah kutub telah menyatakan suatu hak kedaulatan terhadap tanah atau laut yang membeku di dalam suatu sektor yang dibatasi oleh garis pantai wilayah ini dan oleh garis-garis bujur yang berpotongan di Kutub Utara atau Kutub Selatan.

Satu hal yang jelas. Praktek sejumlah kecil negara pada waktu mengajukan klaim-klaim sektor tidak menciptakan suatu kaidah kebiasaan, bahwa suatu metode diperolehnya wilayah kutub diperkenankan dalam hukum internasional. Yang perlu diperhatikan disini hanyalah keberatan-keberatan dari negara-negara nonsektor dan keraguan para yuris terhadap validitas klaim-klaim sektor, dan pendapat umum yang disampaikan bahwa kawasan kutub harus tunduk pada rezim internasional.

Contoh Kasus Okupasi

SENGKETA PULAU MIANGAS

Sumber : http://imran.ngeblogs.com/2009/12/20/544/
Disadur pada: 15 Februari 21:48 pm

Pulau Miangas hanyalah satu dari 12 pulau terluar di Nusantara yang lama nyaris tidak mendapat perhatian dari pemerintah. Miangas adalah pulau terluar Indonesia yang terletak dekat perbatasan antara Indonesia dengan Filipina. Pulau ini termasuk ke dalam desa Miangas, kecamatan Nanusa, Kabupaten Kepulauan Talaud, provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Miangas adalah salah satu pulau yang tergabung dalam gugusan Kepulauan Nanusa yang berbatasan langsung dengan Filipina. Masyarakat setempat menamakan Mangiasa yang berarti menangis atau kasihan karena letaknya sangat terpencil dan jauh dari jangkauan transportasi laut. Ada pula yang menyebut Pulau Tinonda yang berarti diseberangkan karena upaya Raja Talaud yang memindahkan atau menyeberangkan beberapa keluarga dari Pulau Karakelang ke Pulau Miangas.

Sejak dahulu Miangas sudah menjadi tapal batas utara bagi Kerajaan Talaud bersama Pulau Napombalu sebagai batas selatannya. Setelah sistem kerajaan berakhir, secara administratif Pulau Miangas menjadi bagian wilayah Pemerintahan Kabupaten Sangihe-Talaud dan kini berkembang masuk wilayah Nanusa – Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara.

Pulau ini merupakan salah satu pulau terluar Indonesia sehingga rawan masalah perbatasan, terorisme serta penyelundupan. Pulau ini memiliki luas sekitar 3,15 km². Jarak Pulau Miangas dengan Kecamatan Nanusa adalah sekitar 145 mil, sedangkan jarak ke Filipina hanya 48 mil. Pulau Miangas memiliki jumlah penduduk sebanyak 678 jiwa (2003) dengan mayoritas adalah Suku Talaud. Secara geografis posisi Pulau Miangas berada di 5 derajat 33/lintang utara dan 126 derajat 34/bujur timur. Perkawinan dengan warga Filipina tidak bisa dihindarkan lagi dikarenakan kedekatan jarak dengan Filipina. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat lebih mudah dan murah membeli dari wilayah Filipina. Bahkan uang yang mereka pergunakan umumnya adalah peso.

Pada dekade 1960 hingga 1970-an, hubungan antara Miangas dan Filipina semakin intens seiring dengan adanya kesepakatan tentang batas antara kedua negara. Ironisnya, intensitas hubungan kedua negara tidak mempengaruhi kesadaran nasional warga kepulauan tersebut. Masyarakat setempat lebih mengenal pejabat Filipina ketimbang Indonesia. Hal ini terungkap ketika pada awal 1970-an sejumlah pejabat pemerintah pusat yang menyertai kunjungan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX ke wilayah perbatasan, melihat potret Presiden Filipina Ferdinand Marcos menghiasi rumah penduduk.

Mulai saat itu pula, kehidupan masyarakat perbatasan di Kabupaten Sangihe-Talaud mendapat perhatian lebih dari pemerintah, antara lain dengan membuka jaringan pelayaran perintis ke pulau-pulau terpencil. Betapapun keterpencilan membuahkan penderitaan bagi masyarakat pulau-pulau perbatasan namun mereka tetap merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia, setidaknya dalam pendidikan mereka konsisten berkiblat ke Indonesia. Fenomena ini tentu positif bagi keutuhan bangsa dan negara RI.
Okupasi Indonesia di Pulau Miangas dengan pemberian Kartu Tanda Penduduk (KTP), pembangunan jaringan Perusahaan Listrik Tenaga Disel 10 KVA, dan pemasangan simbol-simbol negara.

Faktor Kerawanan

1.Letak geografis di persimpangan jalan antara Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia dan Benua Asia dan Australia sehingga sering dilewati pelayaran Internasional.
2.Struktur negeri yang berbentuk kepulauan dengan panjang pantai lebih dari 80.000 km terpanjang didunia yang pada umumnya terbuka di kawasan sekitar 8 juta km 2 yang tersebar secara tidak teratur yang didiami oleh penduduk secara tiadak merata bahkan masih banyak pulau-pulau yang tak berpenduduk.
3.Isu-isu globalisasi terutama yang menyangkut demokratisasi hak asasi manusia ,liberalisasi ekonomi dan informasi telah meningkatkan kerawanan-kerawanan di daerah perbatasan.
4.Masih ada batas-batas laut negara yang sudah dirundingkan dan disepakati secara bilateral ,belum memiliki pengakuan secara Internasional dikarenakan batas-batas laut tersebut belum didepositkan di PBB.

Pengakuan Filipina Atas Pulau Miangas

Pulau Miangas dan Pulau Manoreh berdasarkan peta Spanyol 300 tahun lalu dan Trakat Paris tahun 1989, merupakan wilayah Philiphina. Pernyataan Konsulat Jenderal RI untuk Davao City Philipina yang mengejutkan bahwa Pulau Miangas dan Pulau Manoreh berdasarkan peta Spanyol 300 tahun lalu merupakan wilayah Philiphina, bahkan masalah ini dengan UU pemerintah Philipina yang baru, kedua pulau ini telah masuk pada peta pariwisata Philipina. Pemerintah Philipina mengakui keberadaan pulau Miangas sebagai miliknya berdasarkan Trakat Paris tahun 1989, Trakat Paris tersebut memuat batas-batas Demarkasi Amerika serikat (AS) setelah menang perang atas Spanyol yang menjajah Philipina hingga ke Miangas atau La Palmas. Trakat itu sudah dikomunikasikan Amerika Serikat ke Pemerintah Hindia Belanda, tetapi tidak ada reservasi formal yang diajukan pemerintah hindia Belanda terhadap Trakat itu. Akan tetapi, putusan arbiter internasional DR. Max Huber memenangkan Belanda atas kepemilikan Pulau Miangas. Menurut kajian Weter (1979), DR. Max Huber memperkenalkan konsep “hukum intertemporal” dalam menangani sengketa dimana kaidah-kaidah hukum internasional diterapkan berdasarkan periode dan kasus tertentu. Dalam hal ini bukanlah menyangkut pilihan hukum melainkan karena tidak adanya penerapan secara historis.

Sengketa Indonesia dengan Filipina adalah perairan laut antara P. Miangas (Indonesia) dengan pantai Mindanao (Filipina) serta dasar laut antara P. Balut (Filipina) dengan pantai Laut Sulawesi yang jaraknya kurang dari 400 mil. Disamping itu letak P. Miangas (Indonesia) di dekat perairan Filipina, dimana kepemilikan P. Miangas oleh Indonesia berdasarkan Keputusan Peradilan Arbitrage di Den Haag tahun 1928. Di Kecamatan Nanusa, Kabupaten Talaud, Pulau Miangas merupakan titik terluar yang paling jauh dan berbatasan dengan Filipina. Hingga kini Indonesia dan Philipina belum mengikat perjanjian batas wilayah tersebut. Selanjutnya, dalam beberapa kesempatan perundingan bilateral Indonesia–Filipina sering muncul argumentasi yang mempertanyakan kembali status Pulau Miangas. Filipina masih menggunakan dalil bahwa Las Palmas, masuk dalam posisi kotak berdasarkan Traktat Paris 1898 dan hal ini dikuatkan dengan ditemukannya Pardao (tugu peringatan) pendaratan Magelhaens di pulau pada tahun 1512. Di samping itu, konstitusi Filipina masih menyebutkan Las Palmas dalam yurisdiksi dan kedaulatannya.

Argumentasi di atas, dapat ditepis Pemerintah RI berdasarkan penetapan batas wilayah “Kerajaan Kepulauan Talaud” yang menjadi bagian dan tradisi masyarakat setempat. Secara historis, pengakuan batas wilayah Kerajaan Talaud telah terjadi sejak kepulauan Talaud dan Filipina bagian selatan berada di bawah pengaruh dari Kerajaan Tidore. Dalam hal ini, Indonesia harus menggunakan argumentasi historis-politis dan administratif.

Bersamaan argumen di atas, langkah pemindahan sebagian penduduk dan dilanjutkan dengan pembangunan gereja serta pendirian Jemaat Kristen Protestan sebagai bagian dari GMIST (Gereja Masehi Injili Sangihe dan Talaud) merupakan hal yang berguna bagi status Pulau Miangas. Karena ini dianggap sebagai tindakan aktif yang menghadirkan institusi gereja di pulau ini. Bahkan tercatat wilayah pelayanan gereja (GMIST) mencakup Filipina bagian selatan.

Seiring perkembangan waktu, isu Miangas mencuat kembali di awal tahun 2002. Adanya pernyataan yang menilai Pulau Miangas belum sepenuhnya milik Indonesia, mengundang keprihatinan penduduk di pulau yang berdekatan dengan negara Filipina itu. “Kami sangat prihatin akan pemberitaan mengenai Pulau Miangas yang seakan-akan tidak ada mengandung fakta-fakta hukum dari seorang yang dianggap dituakan di daerah, yang dinilai tidak bertanggung-jawab terhadap pulau Miangas sebagai bagian dari wilayah kepulauan Indonesia”.

Sehubungan dengan itu, masyarakat setempat menyatakan bahwa jika demikian halnya, biarlah rakyat Miangas yang bertanggungjawab sendiri kepada PBB. Dalam menanggapi isu bahwa Miangas belum sepenuhnya milik Indonesia, warga menyatakan akan tetap mempertahankan pulau Miangas sebagai milik Indonesia. Karena itu, sebagaimana yang tertuang dalam kebulatan tekad masyarakat Pulau Miangas dan ditandatangani oleh 20 perwakilan masyarakat dari 4 delegasi, dengan tegas menolak penguasaan wilayah perbatasan Indonesia (Pulau Miangas) oleh bangsa lain. Menurut mereka, hal ini bertentangan dengan konstitusi dan Hak Asasi Manusia.

Hampir senada dengan politisi Sangihe-Talaud, sejumlah politisi Filipina yang berada di Davao, Mindanau serta para kalangan akademisi mengangkat isu tentang kepemilikan Pulau Miangas, Marore dan Marampit. Bahkan, seorang Profesor di Universitas Filipina, H. Harry Roque menyatakan putusan pada tanggal 4 April 1928 antara Amerika Serikat dengan Belanda belum final karena Pulau Miangas, Marore dan Marampit termasuk dalam traktat Paris tersebut.

Padahal menurut catatan, pada tanggal 4 April 1928 di atas kapal putih Greenphil perundingan antara pemerintah Amerika dan Hindia Belanda telah memutuskan Pulau Miangas termasuk dalam wilayah kepulauan Nusantara Indonesia sebab ciri budayanya sama dengan masyarakat Talaud. Setelah proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus secara tegas dinyatakan bahwa NKRI adalah dari Pulau Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Miangas sampai Timur-Kupang. Hal itu lebih dipertegas lagi dengan diresmikannya tugu perbatasan antara Indonesia dengan Filipina pada tahun 1955 di Pulau Miangas, dimana Miangas tetap berada dalam wilayah Indonesia.

Kiranya, klaim politis yang berkembang saat ini Pemerintah Indonesia tidak perlu khawatir akan terjadi sebagaimana Sipadan dan Ligitan. Setelah pernyataan klaim politis atas Pulau Miangas (2002), jawaban resmi pemerintah Filipina lewat Menteri Luar Negeri Blas F. Ople menyatakan bahwa Miangas yang dalam Peta Filipina disebut Las Palmas, adalah sah milik Indonesia. Bahkan dalam kesempatan kunjungan tiga hari Menlu Blas F. Ople di Manado (1-3 Mei 2003), menawarkan kerjasama di bidang Keamanan dan Ekonomi mengingat intensitas dan aktifitas masyarakat kedua negara sangat potensial dan sudah terjalin sejak lama.

Keputusan Mahkamah Internasional

Putusan Mahkamah Internasional/MI,International Court of Justice (ICJ) tanggal 17-12-2002 yang telah mengakhiri rangkaian persidangan sengketa kepemilikan P. Sipadan dan P. Ligitan antara Indonesia dan Malaysia mengejutkan berbagai kalangan. Betapa tidak, karena keputusan ICJ mengatakan kedua pulau tersebut resmi menjadi milik Malaysia. Disebutkan dari 17 orang juri yang bersidang hanya satu orang yang berpihak kepada Indonesia. Hal ini telah memancing suara-suara sumbang yang menyudutkan pemerintah khususnya Deplu dan pihak-pihak yang terkait lainnya. Dapat dipahami munculnya kekecewaan di tengah-tengah masyarakat, hal ini sebagai cermin rasa cinta dan kepedulian terhadap tanah air.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, edisi: 10. Jakarta: Sinar Grafika

WEBSITE:

http://imanprihandono.files.wordpress.com/2008/10/kedaulatan-wilayah.ppt
http://imran.ngeblogs.com/2009/12/20/544/
www.kbrisingapura.com/docs/reklamasi_bab2a.pdf

SCOTIA CASE

Kasus Scotia merupakan sebuah kasus yang terjadi pada tahun 1871 dimana pada saat itu terjadi tabrakan antara kapal laut Inggris yang bernama Scotia dengan kapal laut Amerika Serikat yang bernama Berkshire dimana pada saat itu menyebabkan kapal Amerika Serikat , Berkshire, tenggelam pada peristiwa tabrakan tersebut.

Peristiwa ini terjadi dikarenakan kapal Berkshire tidak menyalakan lampu-lampu sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh peraturan-peraturan baru navigasi kelautan. Sedangkan disini, pihak kapal Bershire tersebut tidak mengetahui bagaimanakah peraturan-peraturan baru tersebut telah menjadi sebuah peraturan dalam pelayaran internasional walaupun Amerika pun telah mengeluarkan peraturan mengenai pencegahan tabrakan di laut itu sendiri .

Didalam kasus Scotia ini, merupakan sebuah kasus dimana terjadi sebuah miss communication antara Amerika Serikat dan Inggris. Amerika kurang mengetahui bahwa telah terdapat sebuah peraturan-peraturan baru yang telah dibuat oleh Inggris dalam pelayaran laut internasional. Disini dapat kita ketahui bahwa tidak adanya titik keselarasan peraturan-peraturan antara satu Negara dengan Negara maritim lainnya.

Karena tidak adanya keselarasan peraturan-peraturan tersebut, pasti akan menimbulkan efek dan masalah, hal itu pun telah dibuktikan dengan terjadinya kasus Scotia ini. Untuk itu perlunya ada suatu penyelarasan dan penyamaan persepsi setiap Negara sehingga menimbulkan suatu peraturan-peraturan baru yang dapat dijalankan tanpa menimbulkan akibat-akibat yang Negara-negara tidak inginkan.

Seperti kita ketahui bahwa didalam kasus ini, hukum nasional suatu Negara tidak dapat berlaku karena peristiwa ini terjadi diluar garis/wilyah territorial laut masing-masing Negara, melainkan merupakan wilayah laut lepas/bebas. Dengan kata lain, kasus ini diselesaikan dengan menggunakan hukum-hukum internasional yang berlaku pada saat itu.

Tapi peraturan-peraturan dalam setiap Negara pasti memiliki cara yang berbeda dalam mencegah terjadinya tabrakan di laut. Begitupun juga amerika dan inggris, mereka memang memiliki peraturan-peraturan yang sama mengenai pencegahan terjadinya tabrakan dilaut, tetapi isi dan cara-cara mencegah memiliki beberapa perbedaan. Akan tetapi, peraturan-peraturan yang dibuat oleh inggris tersebut lebih dominan dibandingkan peraturan-peraturan yang dibuat oleh Amerika Serikat, malahan peraturan Inggris tersebut telah menjadi kebiasaan-kebiasaan baru hukum internasional (karena dipakai oleh banyak Negara maritim).

Dan faktanya, permasalahan tersebut tidak berada pada suatu wilayah Negara dua pihak yang bersangkutan, menyebabkan permasalahan tersebut harus diselesaikan melalui pengadilan internasional. Pada kasus ini, pengadilan menyatakan bahwa hak-hak dan kewajiban-kewajiban ini harus ditentukan oleh kaidah-kaidah kebiasaan baru hukum internasional yang telah tercakup dalam peraturan-peraturan Inggris yang telah diterima secara luas, dan oleh karena itu kesalahan terletak dipihak Berkshire.
Disini dapat kita analogikan bahwa kesalahan dalam kasus scotia terletak pada kapal laut amerika yaitu Berkshire, kenapa Berskhire yang dinyatakan bersalah? Seperti kita ketahui bahwa hukum internasional terbentuk pada pola-pola hubungan yang telah ada, adanya hukum internasional tersebut dikarenakan adanya masyarakat internasional (international community).

Dari uraian peristiwa kasus Scotia tersebut, diketahui bahwa peraturan-peraturan baru inggris dalam pelayaran laut telah menjadi sebuha kaidah/ kebiasaan bagi banyak Negara sehingga peraturan-peraturan tersebut telah diterima secara luas oleh banyak Negara. Disini merupakan letak kekalahan Berkshire dalam kasus ini dimana peratura-peraturan baru yang telah dibuat oleh inggris tersebut telah menjadi sebuah peraturan bagi beberapa Negara apabila ingin melakukan pelayaran.

Dan akhirnya pada kasus ini, dinyatakan bahwa Berkshire merupakan letak kesalahannya karean tidak menyalakan lampu sesuai dengan peraturan-peraturan baru. Dan dapat kita ketahui juga disini bahwa penyelesaian masalah-masalah melintasi batas-batas Negara, dapat dilihat dari pola-pola hubungan dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam skala internasional yang ada.

PERUVIAN and COLUMBIAN ASYLUM CASE

Kronologis Kejadian

Pada tanggal 3 Oktober 1948, pemberontakan militer terjadi di Peru. Kejadian ini dapat dilumpuhkan pada hari yang sama, dan proses investigasi segera dibuka. Pada tanggal 4 Oktober 1948 Presiden Republik Peru mengeluarkan dekrit atas deklamasi partai politik, American People’s Revolutionary Alliance (APRA), yang dituduh telah merencanakan dan melangsungkan pemberontakkan. Konsekuensi dari dekrit ini adalah bahwa partai ini telah menempatkan dirinya di luar hukum, dimana untuk selanjutnya tidak diizinkan lagi melakukan aktivitas apapun, dan pimpinannya akan dibawa ke pengadilan di International Court sebagai penghasut pemberontakkan. Pada waktu yang bersamaan, pimpinan Departemen Kehakiman Angkatan Laut memberikan perintah perlunya pembukaan pengujian Magistrat seperti fakta-fakta yang melingkupi kejahatan militer yang dilakukan oleh pemberontak.

Victor Raul Haya de la Torre, pimpinan partai APRA, yang melarikan diri dari Peru mendapatkan suaka dari pemerintah Kolombia di Lima pada tanggal 3 Januari tahun 1949. Perwakilan Kolombia mengumumkan suakanya kepada Menteri Luar Negeri Peru. Sesuai dengan kesepakatan dalam suaka yang ditandatangani di Havana tahun 1928, yang diratifikasi oleh dua negara, ia menyampaikan bahwa ia telah mengklasifikasikan Haya de la Torre sebagai suaka politik, seperti pada konvensi Montevideo pada tahun 1933, yang juga ditandatangi oleh kedua negara, dan meminta dengan adanya safe conduct pass seseorang dapat keluar dari negaranya. Peru menolak safe conduct pass, berdasarkan penolakannya terhadap klasifikasi unilateral Kolombia, dan menyatakan bahwa kejahatan Haya de la Torre bertujuan untuk kejahatan semata dan termasuk tindakan teroris yang tidak bisa mendapatkan pengasingan. Dalam kebuntuan ketika pemerintahan Kolombia membujuk agar Peru melaksanakan perjanjian damai, pilihan terakhirnya adalah mengajukannya ke International Court of Justice.

Pada tanggal 20 November 1950, pengadilan memberikan keputusannya, dimana menolak posisi Kolombia yang menganggap bahwa sebagai negara yang memberikan suaka memiliki hak untuk secara sepihak menggolongkan kejahatan yang dilakukan partai tersebut sebagai sesuatu yang benar meminta suaka. Kolombia mengutip perjanjian Montevideo tahun 1933 tentang Suaka, menyetujuinya, namun Peru tidak meratifikasinya, mengingat bahwa aturan yang dinyatakan dalam perjanjian tersebut adalah untuk mengklasifikasi suaka oleh negara-negara yang mengatakan bahwa suaka merupakan pengkodean simpel dari aturan yang jenisnya telah meluas di Amerika, dan bahwa Peru telah mengambil jalan ke arah sana dengan memberikan safe conduct pasess kepada pencari suaka yang lain. Pengadilan mempertimbangkan bahwa Peru tidak terlingkupi oleh perjanjian tahun 1933 dan sehingga tidak pada kondisi yang memungkinkan untuk menggunakan prosedur yang biasa.

Demikian juga, pengadilan mengadili bahwa Kolombia telah memberikan bantuan suaka yang tidak sesuai dengan aturan, berdasar pada Konvensi Havana tahun 1928, dimana ada kesungguhan dalam armada antara kedua negara, karena persyaratan tentang “urgensi” untuk mengadakan perjanjian tidak terpenuhi. Lebih jauh lagi, suaka telah diperpanjang dan keputusan menyatakan bahwa hal itu harus dihentikan.

Kolombia mendapatkan seruan untuk mengklarifikasi apa yang ditolak oleh pengadilan. Lalu Kolombia meminta kepada pengadilan untuk menjelaskan tata aturan untuk melaksanakan hukuman dan meminta meskipun Kolombia harus mengembalikan orang yang diasingkan tersebut ke pemerintah Peru. Pengadilan betul-betul mempertimbangkan bahwa problem ini tidak diajukan pada awalnya. Bagaimanapun pengadilan mengakui bahwa Haya de la Torre merupakan buangan politik dan Kolombia tidak diharuskan untuk menanganinya lebih dari pemerintah Peru. Akhir dari persidangan, ahli hukum Jose Gabriel de la Vega, pejabat yang berkuasa penuh, dan akhir Magistrat bagi Supreme Court of Justice dan Minister of Justice, berperan sebagai perwakilan Kolombia.

Jadi, kasus suaka ini telah melewati sebuah situasi yang kontradiksi, dimana Peru tidak harus memberikan safe conduct pass untuk meninggalkan negara, tapi tidak juga Kolombia berhak untuk membantubuangan politik dari Peru, tapi terlebih untuk mengakhiri pengasingan. Dr. J.M Yepes, dengan mewakili dirinya, menawarkan jalan keluar untuk Peru, berdasar penerimaan buangan di negara lain, yang mana selanjutnya Peru dapat memberikan safe conduct pass. Menurut Dr.Yepes, Presiden Peru menerima jalan keluar ini dan memberikan kesempatan kepada Dr.Yepes untuk mengajukan hal ini kepada pertimbangan General Rojas Pinilla. Jadi, ia menyatakan bahwa yang terakhir menerima dan bahwa pemerintah Brazil diminta untuk menginformasikan kepada Peru. Lalu Brazil memberikan laporan bahwa Peru tidak ingin menerima jalan keluar ini dan Kolombia lalu mengajukannya kepada Interamerican Peace Commission, sebuah proses yang juga ditolak oleh Peru.

Pada akhirnya, kedua negara membentuk sebuah komisi yang dibuat oleh perwakilan negara untuk menyelesaikan masalah ini. Alberto Zuleta Angel dan Carlos Sanz de Santamaria berperan sebagai perwakilan Kolombia dan perwakilan Hernan Bellido dan David Aguilar Corneja di sisi Peru. Langkah yang pertama, Kolombia menawarkan jalan keluar yang diberikan Yepes, diluar dari kesepakatan bahwa Presiden Peru telah menyetujuinya, tapi komisioner untuk negara tersebut menolak fakta dan menolak untuk menyetujuinya. Sehingga solusi praktikal akhirnya ditemukan. Kolombia secara simbolik menerima buangan dari Minister of Justice Peru, dan belakangan mengawal buangan Dr.Haya de la Torre ke bandara selama satu jam, diiringi oleh korps diplomatik, Duta Perwakilan Uruguay. Dr.Haya de la Torre menyetujui tanpa bersikap diam dengan keputusan ini. Meskipun beberapa orang memperdebatkan cara ini, telah dikatakan bahwa keputusan mahkamah ini telah diuji coba, memberikan bahwa Kolombia hanya secara simbolis menangani buangan dalam permintaan untuk dibawa ke pesawat yang dimiliki Mexico, Peru tidak memberikan safe conduct pass. Pengasingan Dr.Haya de la Torre’s berakhir dengan kedatangannya di Peru pada tanggal 6 April 1954.

Convention on Special Missions and Optional Protocol, New York, December 8, 1969

Latar Belakang Sejarah

Pada tahun 1947, komisi hukum internasional yang dibentuk oleh majelis umum PBB atas amanat pasal 13 piagam PBB yang berbunyi sebagai berikut.
“1. majelis umum akan mengadakan penyelidikan dan mengajukan usulan-usulan (recoomendations) dengan tujuan:

Memajukan kerjasama internasional di bidang politik, dan mendorong peningkatan dan pengembangan hukum internasional secara progresif dan pengodifikasiannya;

Memajukan kerjasama internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan bidang-bidang kesehatan, dan membantu meningkatkan pemahaman atas hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua umat manusia tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, jenis kelamin, bahasa, ataupun agama.”

Selanjutnya, karena seringnya terjadi insiden diplomatik sebagai akibat perang dingin dan dilanggarnya ketentuan-ketentuan tentang hubungan diplomatik, maka atas usul delegasi Yugoslavia, majelis umum PBB pada 1953 menerima resolusi yang meminta komisi hukum internasional memberikan prioritas untuk melakukan kodifikasi mengenai hubungan dan kekebalan diplomatik.

Pada tahun 1954, komisi mulai membahas masalah-masalah hubungan dan kekebalan diplomatik, dan sebelum berakhir 1959 majelis umum melalui resolusi 1450 (XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan suatu konferensi internasional guna membahas masalah-masalah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik.
Konferensi tersebut dinamakan “the united nations conference on diplomatic intercourse and immunities”, mengadakan sidangnya di wina pada 2 maret – 14 april 1961. kota wina dipilih dengan pertimbangan histories karena kongres pertama mengenai hubungan diplomatic diselenggarakan di kota tersebut pada 1815. konferensi menghasilkan instrumen-instrumen, yaitu: vienna convention on diplomatic relations, optional protocol concerning aqcuisition of nationality, dan optional protocol concerning the compulsory settlement of disputes. Di antara ketiga instrumen tersebut konvensi wina tentang hubungan diplomatik (convention on diplomatic relations), 18 april 1961 merupakan yang terpenting.

Konvensi wina 1961 diterima oleh 72 negara, tidak ada yang menolak dan hanya satu negara abstain. Pada 18 april 1961, wakil dari 75 negara menandatangani konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah, 53 pasal, dan 2 protokol. Tga tahun kemudian, pada 24 april 1964, konvensi wina 1961 tentang hubungan diplomatik ini dinyatakan mulai berlaku.

Kini, hampir seluruh negara di dunia telah meratifikasi konvensi tersebut, termasuk indonesia yang meratifikasinya dengan UU no. 1 tahun 1982. pentingnya prinsip-prinsip yang tercantum dalam konvensi wina tersebut digaris bawahi oleh mahkamah internasional dalam kasus united states diplomatic and copnsullar staff in teheran melalui ordinasinya tertanggal 15 mei 1979, dan pendapat hukumnya (advisory opinion) tertanggal 24 mei 1980.

konferensi wina ini sungguh merupakan kode diplomatik yang sebenarnya. Walaupun hukum kebiasaan dalam konvensi wina ini tetap berlaku seperti tersebut dalam alinea terakhir mukadimahnya, tetapi peranannya hanya sebagai tambahan:
“…that the rules of costumary international law should continue to govern question not expressly regulated by the provisions of the present convention.”
Pembahasan mengenai hubungan konsuler itu dalam komisi hokum internasional telah dimulai sejak 1955, yaitu dengan menunjuk Mr. Zoureck sebagai repporter khusus.

Rencana terakhir konvensi mengenai hubungan kekonsuleran telah diajukan kepaa majelis umum PBB pada 1961. dengan resolusi 1685 (XVI), majelis umum PBB telah menyetujui rancangan yang diusulkan dan memutuskan untuk menyelenggarakan suatu konferensi diplomatik, dan menyetujuinya pada awal 1963.

Wakil dari 95 negara telah berkumpul di ibukota austria (kota wina) sejak tanggal 4 maret s/d 22 april 1963, konferensi telah menyetujui draft articles final konvensi mengenai hubungan konsuler, termasuk kedua protokol pilihan sebagaimana juga yang terjadi pada konvensi wina mengenai hubungan diplomatik. Berbagai persoalan yang menyangkut konsul termasuk peranannya telah dirumuskan dalam konvensi secara teliti dan rinci, bahkan dianggap lebih panjang dibandingkan dengan konvensi wina 1961. akta finalnya telah ditandatangani pada 24 april 1963, dan dinyatakan berlaku pada tanggal 19 maret 1967.

ada 117 negara yang sudah meratifikasi dan aksesi. Empat puluh diantaranya telah menjadi protokol pilihan tentang kewajiban untuk menyelesaikan sengketa.
Konvensi wina 1963 mengenai hubungan konsuler terdiri dari 79 pasal dan digolongkan dalam lima bab yaitu:

1.Bab pertama (pasal 2-pasal 27) antara lain mengenai cara-cara dalam mengadakan hubungan konsuler, termasuk tugas-tugas konsul;
2.Bab kedua (pasal 28-pasal 57) mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan bukan saja kepada perwakilan konsulernya, tetapi juga kepada para pejabat konsuler karier serta para anggota perwakilan konsuler lainnya;
3.Bab ketiga (pasal 58-pasal 67) khusus menyangkut ketentuan-ketentuan mengenai lembaga konsul kehormatan, termasuk kantornya. Ketentuan-ketentuan dalam bab ketiga ini juga memuat tentang kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada konsul kehormatan dan kantornya;
4.Bab keempat (pasal 68-73) berisikan ketentuan-ketentuan umum, antara lain mengenai pelaksanaan tugas-tugas konsuler olah perwakilan diplomatik, hubungan konvensi ini dengan persetujuan internasional lainnya, dan lain sebagainya;
5.Bab kelima mengenai ketentuan-ketentuan final, seperti penandatanganan, ratifikasi, aksesi, mulai berlakunya, dan sebagainya.

Convention on Special Missions and Optional Protocol, New York, December 8, 1969

Konvensi wina tersebut dilengkapi dengan konvensi mengenai misi-misi khusus (convention on special missions) yang diterima oleh majelis umum PBB pada 8 desember 1969. konvensi mengenai misi-misi khusus yang juga disebut konvensi new york 1969 ini, telah pula diratifikasi indonesia dengan UU no. 2 tahun 1982 pada 25 januari 1982.

Sebagaimana dikatakan di dalam mukadimahnya, bahwa konvensi new york 1969 mengenai misi khusus ini merupakan pelengkap konvensi wina 1961 dan 1963, dan dimaksudkan dapat menjadi sumbangan bagi pengembangan hubungan baik semua negara, baik sistem perundang-undangannya maupun sistem sosialnya.

Konvensi ini terdiri dari suatu pembukaan dan 55 pasal yang menentukan aturan-aturan hukum yang berlaku untuk pengiriman dan pemerimaan misi khusus, yaitu misi ke negara lain dengan persetujuan dari negara pengirim, dengan tujuan mengenai masalah khusus atau untuk menjalankan hal-hal yang behubungan dengan tugas khusus.

Isi dari konvensi ini membahas peringatan tentang perlakuan khusus selalu diberikan kepada misi khusus, tujuan dan prinsip-prinsip dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kesetaraan kedaulatan setiap negara, pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional dan pengembangan hubungan persahabatan dan kerjasama antar Serikat, pentingnya pertanyaan tentang misi khusus diakui selama Konferensi PBB Pergaulan dan Kekebalan Diplomatik yang diadopsi oleh Konferensi pada tanggal 10 April 1961.

Konvensi new york 1969 beserta protokol pilihannya mengenai kewajiban untuk menyelesaikan pertikaian yang sudah berlaku sejak 21 juni 1985, telah diratifikasi oleh lebih dari lima puluh negara sampai dengan 31 desember 2004, 23 diantaranya telah menjadi pihak optional protocol. Konvensi mengenai Misi Khusus (Convention on Special Missions, New York 1969) telah diterima baik oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 8 Desember 1969 di New York. Bahwa negara-negara dapat menggunakan Konvensi ini sebagai pedoman dalam hubungan internasional. Konvensi ini juga perlu ditinjau dengan undang-undang.

Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons (1973)

Latar Belakang dan Sejarah

Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons (1973) adalah salah satu dari 12 perjanjian-perjanjian internasional yang dikaji oleh PBB sebagai pusat pengkajian akan perjanjian-perjanjian internasional terkait tentang masalah terorisme. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 20 Februari 1977.

Konvensi mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan terhadap orang yang dilindungi secara internasional, termasuk agen diplomatik (juga disebut sebagai "Konvensi Perlindungan Diplomat") ini diadopsi oleh majelis umum PBB pada tanggal 14 Desember 1973. Ini adalah salah satu dari serangkaian "sektoral" anti-terorisme yang dinegosiasikan dalam konvensi PBB dan badan-badan khusus. Dibangun atas kodifikasi besar konvensi di bidang hak-hak istimewa dan kekebalan, termasuk Konvensi Wina mengenai hubungan diplomatik dan konsuler. Pada bulan Februari 1971, organisasi negara-negara Amerika telah mengadopsi sebuah konvensi sebagai subjek. Konvensi ini dinegosiasikan dalam menanggapi serentetan penculikan dan pembunuhan agen diplomatik yang dimulai pada akhir 1960-an, seperti pembunuhan von Spreti, Duta Besar Republik Federal Jerman di Guatemala. Adopsi konvensi sektoral biasanya terjadi sebagai tanggapan terhadap peristiwa-peristiwa seperti: pembajakan pesawat, pesawat sabotase, serangan pada pengiriman, dan lain-lain.

Konvensi ini diuraikan selama hanya dua tahun, dengan kerjasama yang erat antara Komisi Hukum Internasional (ILC) dan Komite Keenam Majelis Umum PBB. Inisiatif untuk konvensi berasal dari ILC, yang pada sesi dengan 1971, atas usul dari anggota Amerika, Richard D. Kearney, memutuskan bahwa, jika majelis begitu diminta, akan menyiapkan rancangan artikel tentang kejahatan seperti pembunuhan, penculikan dan serangan pada diplomat dan orang lain berhak mendapat perlindungan khusus di bawah hukum internasional. beberapa tahun sebelumnya, majelis umum pernah meminta ILC untuk menyiapkan artikel tersebut. ILC begitu cepat, pada sesi berikutnya pada tahun 1972, tanpa beralih pada prosedur yang biasa menunjuk pelapor khusus. Sebaliknya, Jepang, Senjin Tsuruoka, memimpin kelompok kerja. Setelah pada awalnya mempertimbangkan masalah kemudian pada tahun 1972, Komite keenam menyelesaikan tahap negosiasi antar pemerintah dalam perjalanan dari sesi reguler pada tahun 1973, banyak pekerjaan yang dilakukan dalam Panitia Penyusunan Komite Keenam.

Istilah "orang-orang yang dilindungi secara internasional" adalah baru dan tidak memiliki arti khusus di luar konteks Konvensi. Tujuannya adalah untuk menutupi semua orang berhak berdasarkan hukum internasional untuk perlindungan khusus dari setiap serangan terhadap orang nya, kebebasan dan martabat. Ini mencerminkan bahasa pasal 29 dari Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik dan artikel yang sesuai konvensi lain mengenai hak istimewa dan kekebalan. Definisi dalam pasal 1 secara tegas mencakup Kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan Menteri Luar Negeri, sehingga menegaskan kembali posisi khusus ketiga pemegang jabatan.

Tujuan

Kejahatan terhadap agen diplomatik dan orang lain yang dilindungi secara internasional membuat ancaman serius terhadap pemeliharaan hubungan internasional normal yang diperlukan untuk kerjasama antara Tujuan Konvensi ini adalah untuk menetapkan langkah-langkah efektif untuk pencegahan dan hukuman atas kejahatan yang dilakukan.

Ketentuan Konvensi

Konvensi berlaku untuk kejahatan keterlibatan langsung atau keterlibatan dalam pembunuhan, penculikan, atau serangan, apakah sebenarnya, mencoba atau terancam, pada orang, tempat-tempat resmi, akomodasi swasta atau sarana transportasi agen diplomatik dan lain "orang-orang yang dilindungi secara internasional". Orang yang dilindungi secara internasional didefinisikan sebagai Kepala Negara atau Pemerintah, Menteri Luar Negeri, pejabat negara dan wakil-wakil dari organisasi internasional berhak mendapat perlindungan khusus di negara asing, dan keluarga mereka.

Pihak-pihak berkewajiban untuk menetapkan yurisdiksi atas pelanggaran-pelanggaran yang dijelaskan, yang mana pelaku pelanggaran-pelanggaran dihukum dengan hukuman yang sesuai, membawa pelaku ke dalam tahanan, menuntut atau mengekstradisi pelanggar terduga, bekerjasama dalamlangkah-langkah pencegahan dan bertukar informasi dan bukti yang diperlukan dalam proses pidana terkait. Sebagaimana dimaksud dalam Konvensi, bahwa yang dianggap sebagai pelanggaran patut diserahkan kepada pihak-pihak yang ada di bawah perjanjian ekstradisi, dan di bawah Konvensi itu sendiri.

Konvensi ini tertutup untuk masalah penandatanganan. Jika dilakukan, harus berserta ratifikasi oleh penandatanganan para anggota serikat. Namun, konvensi ini terbuka bagi setiap negara (Pasal 15 dan 16).

Siapa saja yang diduga sebagai pelaku penuntut, maka harus siap untuk menjalani keseluruhan proses dan harus menyampaikan hasil akhir kepada Sekretaris-Jenderal PBB (Pasal 11).