Showing posts with label hukum diplomatik dan konsuler. Show all posts
Showing posts with label hukum diplomatik dan konsuler. Show all posts

Tuesday, February 16, 2010

KEKEBALAN DIPLOMATIK ATAS DIPLOMAT DAN KELUARGANYA

Definisi

Kekebalan diplomatik adalah bentuk kekebalan hukum dan kebijakan yang dilakukan antara pemerintah, yang menjamin bahwa diplomat diberikan perjalanan yang aman dan tidak dianggap rentan terhadap gugatan atau penuntutan di bawah hukum negara tuan rumah (walaupun mereka bisa dikeluarkan). Disepakati sebagai hukum internasional dalam Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik (1961). Banyak prinsip-prinsip kekebalan diplomatik sekarang dianggap sebagai hukum adat. Kekebalan diplomatik sebagai lembaga yang dikembangkan untuk memungkinkan pemeliharaan hubungan pemerintah, termasuk selama periode kesulitan dan bahkan konflik bersenjata. Ketika menerima diplomat-formal, wakil-wakil dari berdaulat (kepala negara)-yang menerima hibah kepala negara hak-hak istimewa dan kekebalan tertentu untuk memastikan bahwa mereka dapat secara efektif melaksanakan tugas-tugas mereka, dengan pengertian bahwa ini akan diberikan pada dasar timbal-balik.

Sejarah

Selama evolusi keadilan internasional, banyak perang dianggap sebagai pemberontakan atau melanggar hukum oleh satu atau lebih pejuang sisi. Dalam kasus tersebut, para hamba yang "kriminal" berdaulat sering dianggap sebagai antek-antek yang martabatnya dilecehkan. Dalam situasi lain, pertanda tak berarti tuntutan tewas sebagai deklarasi perang. Herodotus mencatat bahwa ketika pembawa Raja Persia Darius Agung menuntut "bumi dan air", yaitu, simbol-simbol ketundukan, dari berbagai kota Yunani, orang Athena melemparkan mereka ke dalam lubang dan Spartan melemparkannya ke dalam sumur, yang menunjukkan mereka akan menemukan baik bumi dan air di bagian bawah.

Dalam tradisi Islam, seorang utusan tidak boleh dirugikan, bahkan jika datang dari musuh dan bantalan yang sangat provokatif atau pesan ofensif. Sebuah atribut hadits sunnah ini kepada waktu ketika utusan Musaylimah dikirim kepada Nabi Muhammad. Nabi mengatakan kepada mereka, "Aku bersumpah demi Allah bahwa sekiranya bukan karena utusan tidak mati, aku akan memotong kepala".

Diplomat dipandang sebagai seorang penyampai amanah yang harus dihormati, melanggar hal tersebut biasanya dipandang sebagai pelanggaran besar atas kehormatan, walaupun ada beberapa kasus di mana diplomat telah dibunuh. Jenghis Khan dan Bangsa Mongol yang dikenal sangat menekankan pada hak-hak diplomat, dan mereka akan sering mengambil pembalasan yang mengerikan terhadap negara manapun yang melanggar hak-hak ini.

Pada tahun 1538, Raja Francis I dari Perancis mengancam Edmund Bonner-Henry VIII's Duta Besar Inggris untuk Perancis dan mendapat pukulan seratus tombak berkapak sebagai hukuman karena Bonner dinilai berperilaku kurang ajar. Meskipun dalam hal ini hukuman itu tidak benar-benar dijatuhkan, peristiwa ini dengan jelas menunjukkan bahwa raja Eropa pada saat itu tidak menganggap duta besar asing kebal dari hukuman.

Awal Imunitas Modern

Dimulai sejak abad ke-16 dan 17 di Eropa dimana pertukaran perwakilan diplomatik sudah dianggap sebagai hal yang umum saat itu, hal mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik sudah dapat diterima dalam praktik negara-negara dan pada abad ke-17 sudah dianggap sebagai sebuah kebiasaan internasional. Kekebalan dan keistimewaan diplomatik tidak terbatas ada kepala perwakilannya saja, akan tetapi juga terhadap anggota keluarganya yang tinggal bersamanya, diplomat lain yang menjadi anggota perwakilan dan kadang-kadang staf pembantu lain.

Pada pertengahan abad ke 18, aturan-aturan kebiasaan hukum internasional mengenai kekebalan diplomatik mulai diterapkan termasuk harta milik, gedung dan sarana komunikasi para diplomat. Untuk menunjukkan kekebalan itu, dikenal istilah ekstrateritorialitas. Tujuan dari pengenaan ekstrateritorialitas itu adalah demi keperluan para perwakilan dalam menjalankan tugasnya dengan bebas dan optimal.

Pada abad ke 20, kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu cenderung mengarah pada bentuk baru komunikasi diplomatik. Adapun beberapa kodifikasi dan aturan dalam hukum diplomatik, terutama :

1.Konvensi Havana mengenai pejabat diplomatik.
2.Harvard Research draft convention on diplomatic priveleges and immunities tahun 1932.

Kekebalan diplomatik modern berkembang sejajar dengan perkembangan diplomasi modern. Pada abad ke-17, diplomat Eropa menyadari bahwa perlindungan dari tuntutan adalah penting untuk melakukan pekerjaan mereka dan satu set aturan berevolusi menjamin hak-hak para diplomat. Ini masih terbatas pada Eropa Barat, dan berhubungan erat dengan hak istimewa bangsawan. Dengan demikian seorang utusan ke Kekaisaran Ottoman dapat dipastikan akan ditangkap dan dipenjarakan atas pecahnya permusuhan antara negara dan kerajaan. Revolusi Perancis juga mengganggu sistem ini sebagai negara revolusioner dan Napoleon memenjarakan sejumlah diplomat yang dituduh bekerja melawan Perancis. Bahkan baru-baru ini, krisis sandera Iran secara universal dianggap sebagai pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik (sandera taker walaupun tidak secara resmi mewakili negara, negara tuan rumah mempunyai kewajiban untuk melindungi properti dan personel diplomatik). Di sisi lain, dalam Perang Dunia Kedua, kekebalan diplomatik itu ditegakkan dan dievakuasi melalui kedutaan-kedutaan negara-negara netral.

Pada abad kesembilan belas Kongres Wina menegaskan kembali hak-hak diplomat, dan mereka telah sangat dihormati sejak saat itu sebagai perwakilan dari suatu negara. Sistem yang itetapkan di Eropa ini telah menyebar di seluruh dunia. Saat ini, kekebalan diplomatik, serta hubungan diplomatik secara keseluruhan, diatur secara internasional oleh Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik yang telah diratifikasi oleh hampir setiap negara di dunia.


Landasan Hukum

Ada 3 teori mengenai landasan hukum dari kekebalan dan keistimewaan diplomatik, yaitu :

1. Teori ekstrateritorialitas
Diplomat dianggap seoalh-olah tidak meninggalkan negaranya. Teori ini didasarkan pada suatu fiksi dan bukan dari realitas sehingga banyak dikritik.

2. Teori representatif
Para pejabat diplomatik mewakili negara pengirim dan kepala negaranya, karena itulah ia mendapatkan hak istimewa dan kekebalan sebab dengan adanya pemberian itu, maka negara penerima dianggap menghormati kedaulatan negara pengirim. Teori ini berasal dari era kerajaan masa lalu. Meski demikian, pemberian hak-hak itu tidak memiliki batasan yang jelas dan acapkali menimbulkan kebingungan hukum.

3. Teori fungsional
Pemberian hak-hak kekebalan dan keistimewaan itu hanya didasarkan pada kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Teori ini dianggap dapat memberikan batasan atas semua hak-hak itu sehingga digunakan menjadi ketentuan dalam konvensi Wina 1961.


Kekebalan Dan Kewenangan Pejabat Perwakilan Diplomatik

Mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Inviolability
Diperuntukkan kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan terhadap semua gangguan yang merugikan serta mendapatkan perlindungan dari aparat negara yang berkepentingan.

b. Immunity
Kekebalan dari yurisdiksi negara penerima.
Kekebalan diplomatik adalah hal yang tidak dapat diganggu gugat, kekebalan diplomatik yang diberikan berdasarkan Konvensi Wina 1961 dapat dikelompokkan menjadi :

a. Kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik
Kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik dalam Pasal 29 Konvensi Wina 1961 disebutkan bahwa:

The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall not be liable to any form of arrestor detention. The receiving State shall treat him with due respect and shall take all appropriate steps to prevent any attack on his person, freedom or dignity.

Agen diplomatik tidak dapat diganggu-gugat. Dia tidak akan bertanggung jawab kepada setiap bentuk penangkapan dan penahanan. Negara penerima akan memperlakuannya dengan hormat dan akan mengambil semua langkah yang tepat apapun serangan terhadap dirinya, kebebasan atau martabat.

Kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik dapat diperinci menjadi empat bagian, antara lain:

1). Kekebalan terhadap kekuasaan negara penerima

Kekebalan dalam bentuk ini misalnya adalah kekebalan terhadap paksaan, penahanan dan penangkapan. Ketentuan ini memberikan petunjuk bagi alat-alat negara penerima untuk tidak melakukan hal-hal tersebut. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan pengertian yang terdapat dalam penjelasan Pasal 29 Konvensi Wina 1961.

a. Hak mendapatkan perlindungan terhadap gangguan atau serangan atas diri pribadi dan kehormatannya.

Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap gangguan, serangan atas kebebasan dan kehormatan diri pejabat diplomatik sebagaimana di Indonesia yang telah menjamin dan mengatur dalam Pasal 143 dan 144 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.

Pasal 143 KUHP menyebutkan:

“Penghinaan dengan sengaja terhadap wakil negara asing di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”

Pasal 144 KUHP menyebutkan:

1. Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap raja yang memerintah, atau kepala negara sahabat, atau wakil negara asing di Indonesia dalam pangkatnya, dengan maksud supaya penghinaan itu diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2. Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang tetap karena kejahatan semacam itu juga, ia dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

b. Kekebalan terhadap jurisdiksi pengadilan negara penerima diatur dalam Pasal 31 Konvensi Wina 1961, antara lain:

1. Seorang wakil diplomatik akan menikmati kekebalan dari pengadilan kriminil (pidana) dari negara penerima. Ia juga menikmati kekebalan dari pengadilan sipil dan administratifnya, kecuali dalam hal:

a. Tindakan nyata yang berhubungan dengan barang milik tak bergerak pribadi yang terletak di daerah negara penerima, kecuali apabila ia menguasainya atas nama negara pengirim untuk maksud misi;
b. Tindakan nyata yang berhubungan dengan penggantian, dalam mana wakil diplomatik itu terlibat sebagai pelaksana/administrator, ahli waris atau penerima harta pusaka sebagai perorangan dan tidak atas nama negara pengirim;
Tindakan yang berhubungan dengan kegiatan profesional atau komersial, yang dilakukan oleh wakil diplomatik di negara penerima, di luar fungsi resminya.

2. Wakil diplomatik tidak diharuskan memberi bukti sebagai saksi

3. Tidak boleh diambil tindakan pelaksanaan hukum terhadap wakil diplomatik kecuali dalam hal-hal yang datang di bawah sub-ayat (a), (b),dan (c) dari ayat (1) pasal ini, dan asalkan tindakan yang bersangkutan dapat diambil dengan tidak melanggar kekebalan pribadinya atau tempat kediamannya.

4. Kekebalan wakil diplomatik dari pengadilan negara penerima tidak membebaskannya dari pengadilan negara pengirim.
Kekebalan perwakilan diplomatik terhadap tuntutan pengadilan kriminil (31 Konvensi Wina 1961), bukan berarti bahwa seorang wakil diplomatik tidak menghormati dan menghargai undang-undang dan peraturan negara penerima. Tanpa mengurangi hak istimewa dan kekebalan diplomatik merupakan suatu kewajiban dari orang yang menikmati hak istimewa dan kekebalan untuk menghormati hukum-hukum dan peraturan-peraturan dari negara penerima. Di samping itu ia juga mempunyai kewajiban untuk tidak ikut campur urusan dalam negeri dari negara setempat.

Tuntutan sipil dalam bentuk apapun tidak dapat dilakukan terhadap seorang wakil diplomatik asing, dan tidak ada tindakan sipil apapun yang berhubungan dengan utang piutang dan lain-lainnya, yang serupa yang dapat diajukan terhadap wakil-wakil diplomatik di depan pengadilan-pengadilan sipil dari negara penerima. Wakil diplomatik tidak dapat ditangkap karena utang-utang mereka, juga terhadap alat-alat perkakas rumah tangga mereka, kendaraan bermotor dan lain-lain yang mereka miliki, disita untuk membayar utangnya.

c. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi

Pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 mengandung ketentuan sebagai berikut:

A diplomatic agent is not obliged to give evidence as a witness.

Artinya bahwa seorang wakil diplomatik tidak dapat dipaksa untuk bertindak sebagai seorang saksi dan untuk memberikan kesaksiannya di depan pengadilan, baik peradilan sipil atau perdata, peradilan pidana maupun peradilan administratif. Begitu pula para anggota keluarga dan para pengikutnya tidak dapat dipaksa untuk bertindak sebagai saksi di depan pengadilan sehubungan dengan yang mereka ketahui. Namun apabila dilihat dari segi untuk menjaga hubungan baik kedua negara, sebaiknya tidak dipegang secara mutlak dan pemerintah negara pengirimnya dapat secara khusus menghapus atau menanggalkan kekebalan diplomatik tersebut dengan pernyataan yang tegas dan jelas.

d. Kekebalan kantor perwakilan dan rumah kediaman perwakilan diplomatik:
Larangan mengganggu dan kewajiban memberikan perlindungan terhadap perwakilan diplomatik asing merupakan kesepakatan yang diakui secara universal dan telah dilakukan oleh negara-negara sejak jaman dahulu. Konsep ini merupakan akibat didirikannya misi diplomatik tetap di suatu negara yang mutlak memerlukan perlindungan terhadap campur tangan asing. Oleh karena itu, negara penerima berkewajiban memgambil segala tindakan yang diperlukan agar kantor ataupun rumah kediaman perwakilan diplomatik bebas dari segala gangguan.

Tidak diganggu–gugatnya gedung perwakilan asing suatu negara pada hakikatnya menyangkut dua aspek. Aspek pertama adalah mengenai kewajiban negara penerima untuk memberikan perlindungan sepenuhnya sebagai perwakilan asing di negara tersebut dari setiap gangguan. Aspek kedua adalah kedudukan perwakilan asing itu sendiri yang dinyatakan kebal dari pemeriksaan termasuk barang-barang miliknya dan semua arsip yang ada di dalamnya.
Pasal 22 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bahwa:

i. Gedung-gedung perwakilan asing tidak boleh diganggu-gugat. Alat-alat negara dari negara penerima tidak diperbolehkan memasuki gedung tersebut kecuali dengan izin kepala perwakilan;
ii. Negara penerima mempunyai kewajiban khusus untuk mengambil langkah-langkah seperlunya guna melindungi perwakilan tersebut dari setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan ketenangan perwakilan-perwakilan atau yang menurunkan harkat dan martabatnya;
iii. Gedung-gedung perwakilan, perabotannya dan harta milik lainnya yang berada di dalam gedung tersebut serta kendaraan dari perwakilan akan dibebaskan dari pemeriksaan, penuntutan, pengikatan atau penyitaan.

Pengaturan Pasal 22 ayat 1 dan 3, pada hakikatnya menyangkut kekebalan di dalam gedung perwakilan itu sendiri, termasuk perabotan harta milik lainnya dan kendaraan-kendaraan perwakilan. Sedangkan dalam ayat 2 berkenaan dengan kewajiban negara setempat guna melindungi perwakilan beserta isi di dalamnya yang tersebut dalam ayat 1 dan 3. Makna lain dari ayat 2 tersebut dapat diartikan menyangkut kekebalan di lingkungan gedung perwakilan itu sendiri. Karena itu perlindungan negara penerima yang diberikan bukan saja di lakukan di dalam gedung perwakilan (interna rationae) tapi juga di luarnya ataupun lingkungan sekitarnya (externa rationae).

Hubungannya dengan hak kekebalan dari gedung perwakilan asing, maka negara pengirim dibebankan suatu kewajiban khusus untuk mengambil tindakan-tindakan atau langkah-langkah yang dianggap perlu guna melindungi tempat kediaman dan tempat kerja perwakilan itu, terhadap setiap pemasukan yang tidak sah atau perbuatan pengrusakan serta melindungi perbuatan pengacauan terhadap ketentraman dari pada perwakilan asing atau dari perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kehormatan negara pengirim.

e. Kekebalan korespondensi (berkenaan dengan kerahasiaan dokumen).
Para pejabat diplomatik dalam menjalankan tugasnya mempunyai kebebasan penuh, dan dapat menjalankan komunikasi secara rahasia dengan pemerintahnya. Diakui secara umum bahwa kebebasan berkomunikasi juga berlaku bagi semua korespondensi resmi antara perwakilan dengan pemerintahnya, dan kebebasan ini harus dilindungi oleh negara penerima. Surat menyurat pejabat diplomatik tidak boleh digeledah, ditahan, atau disensor oleh negara penerima. Perwakilan diplomatik dapat menggunakan kode dan sandi rahasia dalam komunikasinya dengan negara pengirim, sedangkan instalasi radio dan operasi pemancar radio hanya dapat dilakukan atas dasar izin negara setempat. Kurir diplomatik yang berpergian dengan paspor diplomatik tidak boleh ditahan atau dihalang-halangi.

Pasal 27 Konvensi Wina 1961 menjamin komunikasi secara bebas dari misi perwakilan asing dengan maksud yang layak. Artinya hak untuk berhubungan dengan bebas ini adalah hak seorang pejabat diplomatik, di dalam surat-menyurat, mengirim telegram dan berbagai macam perhubungan komunikasi. Dan perhubungan bebas ini dapat berlangsung antara pejabat diplomatik dengan pemerintahannya sendiri atau pemerintah negara penerima maupun perwakilan diplomatik asing lainnya.

Pasal 27 ayat 1 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bahwa:
The receiving State shall permit and protect free communication on the part of the mission for all official purposes. In communicating with the Government and the other missions and consulates of the sending State, wherever situated, the mission may employ all appropriate means, including diplomatic couriers and messages in code or cipher. However, the mission may install and use a wireless transmitter only with the consent of the receiving State.

Adapun yang dimaksud adalah, negara penerima akan memberikan izin dan perlindungan untuk kebebasan berkomunikasi dari pihak perwakilan asing suatu negara, guna kepentingan semua tujuan resmi (official purposes) dari perwakilan asing tersebut yaitu dalam hal mengadakan komunikasi dengan pemerintah negara pengirim dan dengan perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler lainnya dari negara penerima, di mana saja tarletak dan perwakilan diplomatik itu diperbolehkan untuk menggunakan semua upaya-upaya komunikasi yang seperlunya, termasuk kurir-kurir diplomatik, diplomatic bags, dan alat perlengkapan seperlunya yang dipergunakan dalam mengadakan komunikasi tersebut.

f. Kekebalan dan keistimewaan di negara ketiga.
g. Penanggalan kekebalan diplomatik.
h. Pembebasan dari pajak dan bea cukai/bea masuk.

Berdasarkan pada konvensi Wina 1961 itu, kekebalan itu diberikan pada :
a. Pejabat perwakilan diplomatik.
b. Staf pribadi
c. Anggota keluarga pejabat diplomatik
d. Kurir diplomatik dan lainnya.

Penyalahgunaan Kekebalan

Konvensi Wina adalah eksplisit bahwa "tanpa prasangka terhadap hak-hak istimewa dan kekebalan mereka, itu adalah tugas semua orang menikmati hak istimewa dan kekebalan untuk menghormati hukum dan peraturan dari Negara penerima." Namun demikian, dalam beberapa kesempatan, kekebalan diplomatik mengakibatkan hasil yang malang; dilindungi diplomat telah melanggar undang-undang (termasuk orang-orang yang akan pelanggaran di rumah juga) dari negara tuan rumah dan negara yang telah dasarnya terbatas untuk menginformasikan kepada bangsa yang diplomat diplomat tidak lagi diterima (persona non grata). Agen diplomatik tidak Namun, dikecualikan dari yurisdiksi negara asal mereka, dan karenanya penuntutan dapat dilakukan oleh negara pengirim, karena pelanggaran kecil hukum, negara pengirim dapat menetapkan prosedur administratif yang spesifik untuk layanan atau luar negeri misi diplomatik.

Pelanggaran terhadap hukum oleh diplomat sudah termasuk spionase, penyelundupan, pelanggaran hukum perwalian anak, dan bahkan pembunuhan: di London pada tahun 1984, polisi Yvonne Fletcher tewas di jalan oleh orang menembak dari dalam kedutaan Libya. Insiden itu menyebabkan kerusakan dalam hubungan diplomatik sampai Libya mengakui "tanggung jawab umum" pada tahun 1999.

Minor espionages, atau mengumpulkan informasi dari negara-negara tuan rumah dilakukan di setiap kedutaan. Posisi tipikal petugas intelijen adalah sebagai Atase kedua, Visa Atase atau posisi lain tanpa tanggung jawab jelas. Di Amerika Serikat, ini adalah kebijakan dari Dinas Luar Negeri tidak untuk mengkonfirmasi atau menyangkal keberadaan personel intelijen di kedutaan besar AS.

Sebuah masalah khusus adalah kendaraan kekebalan diplomatik biasa peraturan lalu lintas seperti larangan parkir ganda. Terkadang, masalah tersebut mungkin mengambil giliran paling serius, ketika mengabaikan peraturan lalu lintas mengarah pada membahayakan tubuh atau kematian.

Contoh Kasus Cedera dan kematian

* Wakil Duta Besar Republik Georgia untuk Amerika Serikat, Gueorgui Makharadze, menyebabkan kecelakaan pada Januari 1997, empat orang terluka dan membunuh gadis berusia enam belas tahun. Dia ditemukan memiliki tingkat alkohol darah lebih dari 0,15, tetapi dibebaskan dari tahanan karena dia seorang diplomat. Pemerintah Amerika Serikat meminta pemerintah Georgia untuk menarik kembali kekebalan-Nya. Georgia me lakukannya dan Makharadze diadili dan dihukum karena pembunuhan oleh AS dan dijatuhi hukuman dua puluh satu tahun di penjara.

* Seorang Marinir Amerika yang melayani kedutaan di Bucharest, Rumaniam, bertabrakan dengan taksi dan membunuh musisi populer Rumania, Teo Petrus, pada 3 Desember 2004. Christopher Van Goethem, diduga mabuk, tidak menaati lalu lintas sinyal untuk berhenti, yang mengakibatkan tabrakan dari kendaraan miliknya, Ford Expedition, dengan taksi yang dinaiki bintang itu. Kandungan alkohol di darah Van Goethem diperkirakan 0,09 berdasarkan breathalyser tes, tetapi ia menolak untuk memberikan sampel darah untuk pengujian lebih lanjut dan berangkat ke Jerman sebelum kasusnya dapat diajukan di Rumania. Pemerintah Rumania meminta pemerintah Amerika mengangkat kekebalan atas diplomatnya, tetapi Amerika menolak untuk melakukannya.

* Seorang diplomat Rusia terakreditasi ke Ottawa, Kanada mengemudikan mobil dan menabrak dua pejalan kaki di jalan perumahan yang tenang pada bulan Januari 2001, menewaskan satu dan melukai serius yang lain. Andrey Knyazev sebelumnya telah dihentikan oleh polisi Ottawa pada dua kesempatan terpisah dan dicurigai memiliki gangguan mengemudi. Pemerintah Kanada meminta agar Rusia mengabaikan kekebalan diplomat, meskipun permintaan ini ditolak. Knyazev kemudian dituntut di Rusia untuk pembunuhan tidak disengaja, dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara.

* Seorang diplomat Amerika, Konsul Jenderal Douglas Kent, ditempatkan di Vladivostok, Rusia terlibat dalam sebuah kecelakaan mobil pada 27 Oktober 1998, yang menewaskan seorang pemuda, Alexander Kashin, menyebabkan kelumpuhan permanen. Kent tidak dituntut di pengadilan AS. Di bawah Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler 1963, kekebalan diplomatik tidak berlaku untuk tindakan sipil yang berhubungan dengan kecelakaan kendaraan. Namun, pada tanggal 10 Agustus 2006, Pengadilan Banding AS memutuskan bahwa karena ia menggunakan kendaraan sendiri untuk keperluan konsuler, Kent mungkin tidak dapat digugat secara sopan.

Berakhirnya Kekebalan Diplomatik

Kekebalan diplomatik dimulai sejak (menurut Oppenheimer-Lauterpact) :

Pemerintah negara penerima telah memberikan agreement pada sang calon dubes untuk diakreditasikan sebagai dubes di negara penerima. Kedubes negara tersebut di negara pengirim telah memberikan visa diplomatik Kedatangan pertama dubes itu telah diberitahukan pertama kali pada kementrian luar negeri negara penerima.


Kekebalan diplomatik berakhir sejak (menurut Starke):

Pemanggilan kembali dari negaranya, pemanggilan kembali atas permintaan negara penerima,
penyerahan paspor pada wakil dan staf serta para keluarganya sang diplomat pada pecahnya perang antara kedua negara yang bersangkutan, ketika selesainya masa tugas, dan ketika berakhirnya surat kepercayaan yang diberikan dalam jangka waktu tertentu yang telah ditentukan dalam kepercayaan.



SOURCE:
Disadur pada: Senin, 16 November 2009 pada 20:47pm
http://www.kaskus.us/showthread.php?p=119984776#post119984776
http://www.sigitfahrudin.co.cc/2009/04/macam-macam-hak-istimewa-dan-kekebalan.html
roysanjaya.blogspot.com/.../kekebalan-dan-keistimewaan-diplomatik.html
roysanjaya.blogspot.com/.../pengertian-sejarah-dan-sumber-hukum.html

Hukum Internasional dalam Hubungan Diplomatik

Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan azas-azas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara (hubungan internasional) antara negara dengan negara, antara negara dengan subyek hukum lain yang bukan negara, ataupun antara subyek hukum lain bukan negara satu sama lainnya.

Untuk memahami atau mengerti dengan sebaik-baiknya prinsip-prinsip pokok Hukum Internasional, maka pertama-tama harus diketahui apa yang menjadi definisi atau batasan dari Hukum Internasional itu sendiri. Definisi atau batasannya bukan sesuatu yang bersifat statis, melainkan bersifat dinamis sebab batasan atau pengertiannya senantiasa harus disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat internasional tempat di mana hukum internasional itu tumbuh, berkembang dan berlaku. J.G. Starke dalam bukunya Starke International Law mengemukakan definisi Hukum Internasional (International Law) sebagai berikut : Hukum Internasional adalah sekumpulan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari azas-azas dan peraturan-peraturan tingkah laku di mana negara-negara itu sendiri merasa terikat dan menghormatinya, dan dengan demikian mereka (negara-negara) itu juga harus menghormati atau mematuhinya dalam hubungannya satu sama lain, dan yang juga mencakup :

a)Peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya, hubungan antara organisasi internasional dengan negara serta hubungan antara organisasi internasional dengan individu.
b)Peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non state entities) sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara itu bersangkut paut dengan persoalan masyarakat internasional.

Subyek-subyek hukum dapat melakukan interaksi atau hubungan satu sama lain, baik hubungan antara negara dengan negara, negara dengan organisasi internasional, organisasi internasional yang satu dengan organisasi internasional lainnya, negara ataupun organisasi internasional dengan subyek hukum lain seperti pihak belligerensi, korporasi (nasional dan multinasional) maupun individu, semuanya ini dapat menjadi aktor-aktor penting dalam masyarakat dunia yang dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan kaidah-kaidah hukum internasional. Melalui hubungan yang dilakukan oleh subyek-subyek hukum internasional baik hubungan antarsesama subyek hukum internasional maupun hubungan dengan yang bukan sesamanya, pada akhirnya akan melahirkan azas-azas serta kaidah-kaidah hukum internasional.

Dalam prinsip hukum internasional ada yang dinamakan konsep “jus cogens”, yaitu serangkaian prinsip atau norma yang tidak dapat diubah, yang tidak boleh diabaikan, dan yang karenanya dapat berlaku untuk membatalkan suatu traktat atau perjanjian antara negara-negara dalam hal traktat atau perjanjian itu tidak sesuai dengan salah satu prinsip atau norma tersebut. Ada suatu karakteristik tambahan dari norma jus cogens yaitu bahwa norma itu “ hanya dapat diubah oleh norma hukum internasional yang timbul kemudian yang juga memiliki karakter yang sama”. Terdapat beberapa analogi antara jus cogens dan prinsip-prinsip kebijaksanaan umum yang dalam sistem common law dapat menyebabkan batalnya suatu kontrak apabila kontrak tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ini, seperti prinsip bahwa para pihak tidak boleh meniadakan yurisdiksi pengadilan-pengadilan umum dalam perjanjian mereka.

Prinsip Hukum Internasional terhadap Hubungan Diplomatik dan Konsuler

Pengertian hukum diplomatik masih belum banyak diungkapkan, karena pada hakekatnya hukum diplomatik merupakan bagian dari Hukum Internasional yang mempunyai sebagian sumber hukum yang sama seperti konvensi-konvensi Internasional.

Diplomasi merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negoisasi antara wakil-wakil yang sudah diakui. Praktik-praktik negara semacam itu sudah melembaga sejak dahulu dan kemudian menjelma sebagai aturan-aturan hukum internasional. Namun pengertian secara tradisional kata ‘hukum diplomatik’ digunakan untuk merujuk pada norma-norma hukum internasional yang mengatur tentang kedudukan fungsi misi diplomatik yang dipertukarkan oleh negara-negara yang telah membina hubungan diplomatik, lain halnya dengan pengertian-pengertian sekarang yang bukan saja meliputi hubungan diplomatik dan konsuler antarnegara, tetapi juga keterwakilan negara dalam hubungannya dengan organisasi-organisasi internasional.

Dari pengertian sebagaimana tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan adanya beberapa faktor yang penting yaitu hubungan antara bangsa untuk merintis kerjasama dan persahabatan, hubungan tersebut dilakukan melalui pertukaran misi diplomatik termasuk para pejabatnya. Dengan demikian, pengertian hukum diplomatik pada hakikatnya merupakan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum internasional yang mengatur hubungan diplomatik antar negara yang dilakukan atas dasar permufakatan bersama dan ketentuan atau prinsip-prinsip tersebut dituangkan didalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi hukum kebiasaan internasional dan pengembangan kemajuan hukum internasional.

Dalam perkembangannya, hukum diplomatik mempunyai ruang lingkup yang lebih luas lagi bukan saja mencakupi hubungan diplomatik antarnegara, tetapi juga hubungan konsuler dan keterwakilan negara dalam hubunganya dengan organisasi-organisasi internasional khususnya yang mempunyai tanggungjawab dan keanggotaannya yang bersifat global atau lazim disebut organisasi internasional yang bersifat universal. Bahkan dalam kerangka hukum diplomatik ini dapat juga mencakupi ketentuan-ketentuan tentang perlindungan keselamatan, pencegahan serta penghukuman terhadap tindak kejahatan yang ditujukan kepada para diplomat.

Para pejabat diplomatik yang dikirimkan oleh sesuatu negara ke negara lainnya telah dianggap memiliki suatu sifat suci khusus. Sebagai konsekuensinya, mereka telah diberikan kekebalan dan keistimewaan diplomatik, ini merupakan aturan kebiasaan hukum internasional yang telah ditetapkan, termasuk harta milik, gedung dan komunikasi. Untuk menunjukkan totalitas kekebalan dan keistimewaan diplomatik tersebut, terdapat 3 teory yang sering digunakan dalam hal ini, yaitu; exterritoriality theory, representative character theory dan functional necessity theory. Sifat dan prinsip tersebut itu diberikan kepada para diplomat oleh hukum nasional negara penerima. Pemberian hak-hak tersebut didasarkan resiprositas antarnegara dan ini mutlak diperlukan dalam rangka:

Mengembangkan hubungan persahabatan antarnegara, tanpa mempertimbangkan sistem ketatanegaraan dan sistem sosial mereka berbeda. Bukan untuk kepentingan perseorangan tetapi untuk menjamin terlaksananya tugas para pejabat diplomatik secara efisien terutama dalam tugas dari negara yang mewakilinya.

Kekebalan dan keistimewaan diplomatik akan tetap berlangsung sampai diplomat mempunyai waktu sepantasnya menjelang keberangkatannya setelah menyelesaikan tugasnya di sesuatu negara penerima. Namun negara penerima setiap kali dapat meminta negara pengirim untuk menarik diplomatnya apabila ia dinyatakan persona non grata.

Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik

Setelah berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya pengembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya mengenai ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik yang telah digariskan secara rinci.

Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara. Di samping itu, juga terdapat 2 protokol pilihan mengenai masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk menyelesaikan sengketa yang masing-masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa.

Pasal 1-19 Konvensi Wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan surat-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Dubes); pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi misi-misi diplomatik termasuk di dalamnya pembebasan atas berbagai pajak. Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada para diplomat dan keistimewaan bagi anggota keluarganya serta staf pelayanan yang bekerja pada mereka dan pasal 48-53 berisi tentang berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya Konvensi itu.

Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler (UU No. 1 Tahun 1982 Tanggal 25 Januari 1982) yaitu :

a. Pasal 5 tentang Fungsi-fungsi konsuler, ayat (a) :
protecting in the receiving State the interests of the sending State
and of its nationals, both individuals and bodies corporate, within
the limits permitted by international law

melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim dan kepentingan-kepentingan warganegaranya yang berada di negara penerima, baik perseorangan maupun badan-badan hukum, dalam batas-batas yang dibenarkan oleh Hukum Internasional;
dan ayat (e) :

helping and assisting nationals, both individuals and bodies
corporate, of the sending State

menolong dan membantu warga negara negara pengirim baik perseorangan maupun badan-badan usaha.

b. Pasal 36 tentang Komunikasi dan Mengadakan Hubungan dengan Warganegara dari Negara Pengirim, ayat (1b) :

if he so requests, the competent authorities of the receiving State
shall, without delay, inform the consular post of the sending State
if, within its consular district, a national of that State is
arrested or committed to prison or to custody pending trial or is
detained in any other manner. Any communication addressed to the
consular post by the person arrested, in prison, custody or detention
shall also be forwarded by the said authorities without delay. The
said authorities shall inform the person concerned without delay of
his rights under this sub-paragraph

yaitu apabila pejabat konsuler menghendaki, maka instansi-instansi yang berwenang negara penerima harus memberitahukan kepada perwakilan Konsuler dari negara Pengirim secepatnya apabila, diwilayah konsulernya, ada seorang warganegara pengirim ditangkap atau dimasukkan penjara atau ditaruh dibawah pengawasan menunggu sampai diadili atau dengan suatu cara lain ditahan.

c. UU no. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Bab. V tentang Perlindungan kepada Warganegara Indonesia, khususnya Pasal 19 ayat (b) yaitu : Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan pengayoman, perlindungan dan bantuan hukum bagi warganegara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.