Friday, March 5, 2010

Regionalism: the thought and the deed by Paul Taylor

Groom A.J.R. & Paul Taylor (ED) Frameworks for International Cooperation. Pinter Publisher. London, 1990. Hlm 151-171


Regionalisme merupakan sesuatu yang luput dari dunia para penstudi pada kurun waktu antara 1970-an dan 1980-an. Pada waktu yang sama regionalisme muncul dalam bentuk praktek nyata yang memiliki perbedaan satu sama lain di hampir seluruh bagian dunia. Terdapat banyak pendapat atas karakter penting dari regionalisme itu sendiri. Salah satu yang paling sering muncul adalah Regionalisme sebagai sebuah skala area geografis yang satu sama lainnya melakukan kerjasama karena merasa cocok akan kesamaan atas kemampuan negara yang terkadang diukur berdasarkan kesejahteraan dari individualnya atau tujuan-tujuan pemerintahannya. Area tersebut harus pula melewati batas-batas kenegaraan dengan cara menjadi bagian langsung dari sebuah teritori.

Hal yang patut dipikirkan lebih lanjut adalah bahwa regionalisme memiliki ketertarikan yang berbeda tergantung wilayahnya sendiri, setiap wilayah memiliki fungsi yang mereka anggap paling efisien untuk dijalankan karena regionalisme merupakan sebuah konsep yang utilitarian. Regionalisme dapat muncul sebagai konsep yang mengedepankan strategi untuk memfokuskan kesetiaan bersama pada institusi, simbol, atau bahkan terkadang sesuatu yang disebut icon dari sebuah area yang lebih besar, walaupun hal ini tidak selalu dilakukan.

Definisi dari regionalisme itu sendiri dapat dipertajam dengan mempertimbangkan konsep yang memiliki pendapat kontras dengan definisi awal regionalisme. Salah satu konsep yang berlawanan dengan konsep regionalisme adalah konsep nasionalisme yang mempertegas dan mengutamakan kesatuan negara dan kekuatan bangsa. Konsep lainnya yang merupakan kontra dari regionalisme adalah konsep doktrin ‘one-world’ yang dengan tegas menentang konsep regionalisme. Mereka adalah pemegang konsep yang menganggap bahwa persatuan dunia yang dicapai dengan kesetaraan global dalam segala aspek dalam level negara.

Katagori ketiga yang merupakan opponent dari regionalisme adalah mereka yang menganggap regionalisme sebagai bentuk general yang secara tidak langsung mengarah pada sektoralisme. Seperti pendapat dari Groom, Burton, dan yang lainnya yang menganggap keterikatan area geografis bertanggung jawab atas terbentuknya institusi dalam bentuk fungsional yang akan dipandang sebagai co-extensive, walaupun hal tersebut dapat mengakibatkan overlap dalam cobweb yang telah ada, pencapaian individu yang gagal tidak dapat dikatagorikan sebagai kegagalan teritori, karena mereka telah dipersatukan oleh sebuah institusi regional tunggal yang berfokus pada satu keunggulan bersama teritori.

Masing-masing dari ketiga pilihan opponent regionalisme ini memiliki pendapat-pendapat ekstrim berkaitan dengan pencapaian regional. Pada akhirnya, keikutsertaan suatu negara dalam perjanjian regional secara berkesinambungan menghasilkan pencapaian bagi negara anggotanya; dan global community dapat menganggap regional sebagai substrukturnya.

Namun demikian, sektoralisme telah membuat kesepakatan dan telah muncul sebagai teori major dan pengaplikasian alternatif bagi regionalisme. Pengakuan ini menunjukkan bahwa pancapaian sektoral dapat terlihat cacat, hal ini menjadikan munculnya efek yang besar bagi regionalisme, bahwa sektoralisme memang hanya merupakan major alternatif.

Pertimbangan kembali atas konsep regionalisme harus juga berdasarkan diskusi-diskusi atas alasan kemunduran pembahasan regionalisme selama periode 1970-an. Yang sepertinya terjadi adalah bahwa pertimbangan atas regionalisme sebagai sebuah fenomena atau hanya sebagai doktrin politis membuat regionalisme menjadi tidak populer, dan regionalisme ada saat itu digantikan oleh pengkajian atas pengoperasian kebijakan khusus di beberapa daerah di belahan dunia. Dengan kata lain, pada level lokal telah terdapat pembicaraan mengenai pengkajian kewilayahan tetapi bukan regionalisme.

Bagaimanapun juga, sangat penting untuk menyadari bahwa tulisan yang berisi kajian mengenai regionalisme sangat luas. Setidaknya terdapat lima katagori yang dapat dideteksi. Yang pertama adalah kajian yang berfokus pada pembangunan dan aplikasi dari berbagai indikator regionalisme. Pertanyaan utamanya adalah sejauh apakah regionalisme mencakup dimensi dari aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik serta keterkaitannya? Buku klasik yang membahas mengenai hal tersebut ditulis oleh Bruce Russet, pertama kali dipublikasikan tahun 1969 dan diterbitkan kembali pada tahun 1976.

Russet berpendapat bahwa terdapat keterkaitan antara tingkat region yang memperlihatkan keterkaitan antara kesamaan sosial dan budaya dengan saling menghormati beberapa atribut internal satu sama lain. Sejauh apa region membagi perilaku politiknya atau sikap externalnya. Sayangnya karyanya ini, yang menggunakan metode kuantitatif yang modern, juga menjadi salah satu alasan kemunduran minat pada subject ini. Russet menyimpulkan bahwa:

“Tingkat kesesuaian antara induktif cluster yang dihasilkan oleh berbagai kriteria akan relatif rendah, yaitu pengelompokan sosial-budaya tidak akan sangat mirip dengan kelompok-kelompok politik, dan kelompok perdagangan”

Russet juga menambahkan,

“Tidak ada regional atau unit total nasional, yang dalam arti sempit cocok batas diidentifikasi sebagai sub-sistem internal ... Seperti subsistem harus diidentifikasi secara empiris oleh kesepakatan kriteria yang berbeda”

Tipe kajian kedua mengenai regionalisme terkait dengan deskripsi atas integrasi yang dinamis. Terminologi yang digunakan dalam pendefinisian regionalisme yang disebutkan sebelumnya, faktor-faktor apakah yang akan mempengaruhi kecenderungan penyelesaian masalah di level regional. Para penstudi yang memepertanyakan hal ini datang dari golongan neo-functionalist, mereka menjabarkan bagaimana integrasi regional berubah. Oleh karena itu mereka mulai mengembangkan variabel dinamis seperti ‘spill-over’. Kajian ini juga menjadi tidak terlalu populer di tahun 1970-an karena dianggap telah gagal untuk memprediksi pembangunan integrasi regional di wilayah Eropa Barat. Seorang pemuka neo-functionalist, Ernest B. Haas, dengan kesadarannya mengulas sedikit dari teori usang dalam artikelnya yang berjudul ‘obsolescence of regional integration theory’ pada tahun 1976, walaupun pada akhirnya banyak yang menganggap artikel tersebut merupakan artikel yang prematur.

Tipe kajian ketiga lebih kepada mencari apakah motif dari regionalisme pada awalnya dan motif politik dari siapapun yang berpartisipasi di dalam prosesnya. Apakah ada harga yang harus dibayar serta manfaat dari bergabungnya suatu negara dengan organisasi regional. Keterlibatan dapat menjadi awal yang baik yang berupa dukungan umum bagi integrasi regional. Secara tidak langsung, hal tersebut dapat mewakili percobaan yang akan merujuk pada peningkatan spesifik, seperti perekonomian yang membaik, dan meningkatkan komunikasi dengan negara lain yang berada di dalam satu region. Sebagaimana argumen yang dikeluarkan oleh Josph Nye dalam artikelnya pada tahun 1972 yang menyebutkan bahwa : disamping ketidakjelasan argumen yang diberikan oleh Russet tentang indikator dari regionalisme, telah dapat dilihat dengan jelas dari bukti nyata bahwa kerjasama pemerintahan regional semakin menjamur dan terus bertambah.

Tipe kajian yang keempat adalah kajian mengenai regionalisme yang terkait dengan prediksi dan perintah serta pembeda berdasarkan kepada bobot yang diberikan satu sama lain negara atas institusi regional tersebut. Apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang akan terjadi dengan tingkatan kerjasama?

Artikel mengenai elemen dari perintah yang mendominasi yang secara berkala diperoleh dari pandangan yang menyatakan bahwa globalisme tidak bisa dielakkan terlibat dalam hubungan eksploitatif antara utara dan selatan, sehingga beberapa region di wilayah selatan harus lebih mendorong pembangunan hubungan ekonomi dan politiknya diantara mereka satu sama lain. Teori dependensi adalah salah satu yang paling direkomendasikan. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat para strukturalis, seperti Rajni Kothari.

“Ada kebutuhan untuk kerja sama regional yang lebih besar di antara berbagai negara-negara kecil dan lemah di dunia, mengumpulkan sumber daya finansial mereka, politik dan militer, ke dalam struktur kekuasaan dunia atas dasar itu, dan pada akhirnya akan mengubah sistem melalui mana segelintir negara mampu mendominasi dunia”

Sedikit perbedaan argumen mengenai prediksi dan perintah diajukan oleh Bertrand Report pada tahun 1985, yang merupakan pengecualian dari pengamatan sebelumnya bahwa tidak ada tulisan signifikan mengenai regionalisme sebagai fenomena umum telah diproduksi sejak pertengahan 1970-an. Bertrand mengutuk pembangunan dan perjanjian yang dibuat oleh PBB dengan kecenderungan mereka untuk apa yang dia sebut 'sektoral fungsionalisme', dan 'remote control oleh anggota staf yang tinggal di ibukota yang lebih besar' untuk mendapatkan dukungan yang lebih kuat, lebih baik yang ditentukan oleh pengaturan regional. Yang dibutuhkan adalah pengembangan dari suatu 'organisasi dunia generasi ketiga' yang ditransfer secara bertanggungjawab dan bersifat penting bagi pembangunan ekonomi di tingkat regional.

Katagori kelima dari jenis kajian mengenai regionalisme merupakan yang terakhir. Artikel Roger Masters mengenai multi-bloc model dari sistem internasional mungkin dapat dijadikan contoh. Ia menerima kemungkinan bahwa region mungkin akan muncul lebih jelas tanpa memeriksa bukti-bukti untuk ini, dan tanpa menetapkan indikator regionalisme, dan tidak secara eksplisit normatif meskipun dapat diperdebatkan bahwa kekhawatiran atas itu tersirat. Kesimpulannya, bagaimanapun, mendorong dari sudut pandang dari mereka yang mungkin mendukung konsep regionalisme untuk banyak alasan.

Masters menyimpulkan bahwa di dunia yang multi-bloc, hanya ada satu hal yang dapat berpengaruh atas kuatnya suatu region, suatu region akan kuat jika memiliki stabilitas yang signifikan dalam mendorong elemen-elemen yang terdapat di dalam regional tersebut. Di lain pihak, tidak ada alasan untuk takut dengan pembangunan karena pada dasarnya telah ada institusi yang akan menyokongnya. Pada akhirnya akan tercipta international society yang stabil dan damai. Artikel Masters ini bahkan telah muncul pada tahun 1961, bukan pada tahun 1980 seperti yang diprediksi kebanyakan orang.

Banyaknya pertanyaan yang muncul mengenai regionalisme dari diskusi yang sebelumnya menggiring kajian atas regionalisme memasuki masa kemunduran pada tahun 1970-an. Proses dan penyebab kemunduran itu sendiri masih dijadikan perdebatan hingga kini. Kajian akademik di bidang hubungan internasional, seperti pada bidang ilmu sosial lainnya, sangat mampu untuk mengatur cara berpikir yang tidak memihak pada kubu manapun di tatanan dunia yang sesungguhnya.

Di satu sisi, regionalisme sebagai suatu fenomena telah menerima sedikit perhatian setelah era 1970-an. Di lain pihak, bagaimanapun juga, bukti nyata yang muncul di era 1980-an menunjukkan bahwa organisasi regional jumlahnya telah meningkat drastis dengan kecepatan tinggi dan fakta bahwa pemerintah menjadi lebih terlibat dalam organisasi regional dibandingkan dalam organisasi global.

Saturday, February 20, 2010

Globalisasi dan Kebudayaan via Media (tugas akhir globalisasi)

Definisi Globalisasi dan Budaya

Globalisasi merupakan sebuah fenomena perubahan yang terjadi secara menyeluruh, dirasakan secara kolektif, dan mempengaruhi banyak orang melintasi batas wilayah dan negara, juga mempengaruhi gaya hidup dan lingkungan kita. Dunia berubah. Dan globalisasi adalah dunia yang terhubung (connected world) seolah tanpa batas. Pertukaran ide makin instan, tidak hanya ide dalam artian ideologi, tetapi juga ide pertukaran manusia, ide pertukaran ekonomi, ide pertukaran materi, yang semua menjadi lebih mudah dan cepat.

Perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi telah mengubah dunia. Dulu tak ada orang membayangkan, dunia yang begitu luas akan menjadi desa global (global village). Tahun 1964 ketika Marshall Mc Luhan mengemukakan teori determinisme teknologi dalam buku Understanding Media, banyak orang yang sulit mengerti, dan tidak bisa membayangkan konsepsi global village. Pemikiran Mc Luhan saat itu dinilai kontroversi, dan membingungkan. Tapi sekarang, globalisasi memang benar -benar menjadi kenyataan. Penduduk dunia saling berhubungan semakin erat hampir di semua aspek kehidupan. Dari bertukar informasi, budaya, perdagangan, i nvestasi, pariwisata, hingga persoalan pribadi, ataupun aspek kehidupan lain.

Globalisasi adalah tanda zaman, suatu globalisasi desa (global village), hilangnya sekat waktu dan jarak. Globalisasi tak hanya ditandai atau identik melalui arus perpindahan modal (ekonomi), tetapi meluas sampai ke wilayah budaya. Globalisasi budaya terjadi sebagai konsekwesi pekembangan baru masyarakat postmodern. Melalui terbentuknya budaya massa atau budaya pop, dunia seakan diciutkan dalam keseragaman dan manusia disatukan di bawah bendera kesadaran yang sama.

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. (Wikipedia)

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.

Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.

Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian dari kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Korelasi antara Globalisasi dan Kebudayaan

Ramalan apapun tentang masa depan peradaban dunia belum memiliki arah dan ketepatan yang jelas. Modernitas sebagai sebuah sistem tidak dapat diramalkan dengan pasti arah geraknya. Giddens menyebut modernitas sebagai lokomotif dengan konsekwensi-konsekwensi yang tak terduga (Ritzer, 2003). Kita berada dalam dunia penuh paradoks, di mana idealisasi-idealisasi kita selalu saja berbenturan dengan kenyataan-kenyataan hidup dalam dunia modern. Dengan menggunakan perspektif analisis budaya, kecenderungan unsur paradoksial dunia modern dengan mudah dapat dibaca pada terjadinya proses pergeseran kebudayaan, dari masyarakat modern ke masyarakat postmodern melalui jalur kultural, postmodernisme lebih mudah merentangkan sayapnya dan diterima sebagai visi baru peradaban.

Budaya global memang senantiasa terus mengalami pergeseran dan pengulangan. Budaya daur ulang yang terus-menerus direproduksi dan diterima tanpa banyak tanya, untuk apa semua ini. Yang kita tahu, kedatangan budaya global bisa jadi suatu keadaan yang jauh lebih baik, atau sebaliknya suatu posisi penyingkiran yang berarti eksploitatif dan imperialis. Bagaimanapun kedua posisi berlawanan ini adalah suatu kenyataan yang hidup berdampingan. Dan kita hidup didalamnya.

Negara-bangsa apabila ingin bertahan dalam jaman globalisasi yang tak terbendung ini mau tak mau harus juga merubah tatanan sosial politik, hukum dan budayanya karena antara ekonomi dengan sosial politik, hukum dan budaya tak dapat dipisahkan. Globalisasi yang tengah terjadi bukan saja globalisasi ekonomi, tetapi Juga globalisasi nilai-nilai sosial potitik, hukum dan budaya. Perubahan yang tengah melanda negara-negara bekas komunis seperti Rusia, Yugoslavia, Polandia dan Cina, misalnya, bukanlah sekedar perubahan dari sistem ekonomi negara yang terkendali ke sistem ekonomi pasar, tetapi justru perubahan dalam sistern dan nilai-nilai sosial politik, hukum dan budaya.

Walaupun belum sepenuhnya berubah, tetapi proses perubahan inilah yang tengah berlangsung secara menakjubkan. Hal yang sama terjadi pula pada negara-negara yang disebut sebagai negara-negara sedang berkembang terutama di Asia Timur dan Tenggara. Harus diakui bahwa hampir semua kawasan atau bagian negara di Asia termasuk Indonesia telah menjadi bagian dari proses globalisasi yang tengah terjadi dalam artian suka atau tidak suka, baik atau buruk tengah mengalami ketegangan dan benturan ekonomi, sosial politik, hukum dan budaya yang memperlemah tatanan dan nilai-nilai lama. Nilai-nilai dan tatanan baru mulai menampakkan dirinya walaupun belum sepenuhnya diterima.

Globalisasi atau menurut istilah James Petras dan Henry Vetlmeyer lebih cocok disebut ‘imperialisme’, pada tingkat analisis budaya postmodern sering dianalogikan dengan Amerikanisasi. Hubungan erat antara budaya dengan Amerika jelas tergambar dalam peran dan otoritas Amerika sebagai produsen ‘budaya Massa’ terbesar di dunia. Dari televisi kabel, jaringan media global, internet, entertaiment, masakan fast food sampai film Hollywood menyerbu ke seantero pelosok dunia. Jika budaya massa kita anggap sebagai ancaman yang serius, maka jelas Amerika adalah ancaman bagi keutuhan budaya lokal.

Postkolonialisme: perayaan perbedaan atau tidak

Tantangan terbesar dari diskursus postkolonial tidak lain adalah wacana budaya global. Agresifitas pembentukan budaya massa atau budaya pop seakan mengalahkan dan menunda semua bentuk budaya tanding (yang lokal), kecuali budaya tersebut layak dimasukkan ke dalam pasar budaya global. Mungkin di sinilah salah satu perbedaan cara pandang logika modernisme dan postmodernisme. Jika modernisme selalu cenderung meniadakan dan mensubordinasikan yang lain (the other) atau tradisi lokal, justru postmodernisme merayakan perbedaan kultural dalam ruang-ruang komodifikasi yang inspiratif dan inovatif. (http://ariefgunawan.blogspot.com/2006/03/postkolonialisme-dan-wacana.html)

Mungkin ini termasuk kecurigaan yang berlebihan kepada postkolonialisme. Bahwa definisi perbedaan, penindasan, dan terutama postkolonialisme, selalu datang dari arah yang satu yakni dari kaum penjajah. Postkolonialisme dituduh sebagai usaha yang licik dan sekedar membuat redefinisi, mengaburkan dominasi dan hegemoni. “Kita hidup di jaman multikultur, untuk diarahkan ke jaman monokultur”.

Idealisasi-idealisasi kaum postkolonial untuk membentuk sebuah dunia baru tanpa dominasi, multikultur, bertolakbelakang dengan kenyataan imperial dan karakter kompetitif tiap peradaban. Kita tidak hidup dalam ruang ideal postkolonial, kita ada di telapak tangan “globalisasi”. Dipinjami pengetahuan untuk mengidentifikasi diri dan menegaskan diri. Kondisi inilah yang membuat hilangnya tapal batas imajiner antara the same dengan the other.


Globalisasi Media dan Informasi serta Hubungannya dengan Kebudayaan

Semakin nyata perkembangan teknologi komunikasi secara signifikan memang berimbas ke berbagai sektor. Media massa g lobal seperti CNN, MTV, CNBC, HBO, BBC, ESPN, dan lain -lain, telah menjangkau dan menembus yuridiksi berbagai negara. Informasi mengalir deras melalui jaringan media global dan kantor-kantor berita internasional, seperti Reuters, UPI, AP, AFP dan lain - lain. Informasi-informasi itu sering dimaknai di dalamnya mengandung kebudayaan, maka terjadilah penyebaran budaya global. Media massa berperan sebagai kekuatan trend setter untuk isu-isu global, baik persoalan politik seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup, maupun terorrisme internasional, hingga ke persoalan budaya dan gaya hidup.

Perkembangan teknologi juga telah memunculkan komunikasi baru dalam bentuk Computer Mediated Communication (CMC). Yaitu komunikasi dengan mediasi komputer melalui jaringan on line internet yang memungkinkan adanya komunitas virtual yang berkomunikasi secara intensif di dunia maya, antara orang banyak dengan orang banyak yang pesertanya berasal dari berbagai belahan dunia tanpa batas (McQuail, 2002 hal: 113). Menurut catatan Nua.com, pertumbuhan pengguna internet ( growth of internet users) sampai tahun 2001, jumlahnya sudah mencapai 500 juta orang (Lister et all, 2003:204). Padahal tahun 1998 baru sekitar 120 jutaan. Artinya ada peningkatan yang sangat signifikan. Melalui CMC ini para pengakses mengakses internet menjadi akrab dengan situs-situs global seperti Yahoo, Hotmail, Google, HTML (Hypertext Markup Language), Facebook, ataupun juga perusahaan Microsoft milik Bill Gate yang sangat terkenal. Nama-nama itu merupakan simbol-simbol global di dunia maya sekarang ini.

Dengan demikian informasi jadi begitu mudah menyebar, sekaligus mendorong terjadinya fenomena globalisasi budaya. Tapi problemnya tidak semua warga dunia mampu mengikuti perkembangan globalisasi dan memanfatkannya. Sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia malah sering menjadi obyek kemajuan dan kesiapan negara kaya. Yang terjadi mengalirnya begitu banyak informasi dari negara -negara maju khususnya Barat ke negara-negara berkembang. Atau terjadi unevent globalization, globalisasi yang timpang (Lister et all, 2003:200).

Konsep free flow of information antarnegara di dunia yang pernah diperjuangkan pada massa 1980 -an hanya menjadi wacana pada tataran konseptual (Mc Bride, 1982). Prakteknya arus informasi di media-media internasional masih didominasi negara -negara maju, terutama Amerika Serikat.

Negara dunia ketiga lebih banyak menjadi penerima, tanpa mampu mengirimkan secara seimbang informasi mengenai negaranya. Bahkan kalaupun ada informasi dari negara berkembang, informasi tersebut berada dalam bingkai persepsi negara-negara maju. Akhirnya yang tampil di media internasional lebih banyak sisi negatif. Inilah yang kemudian memunculkan konsepsi imperialisme budaya. Dimana negara Barat, khususnya Amerika, melalui penyebaran informasi tadi telah menyebarkan budaya mereka ke dalam kehidupan negara dan bangsa lain di dunia. Dari informasi pemberitaan, film, lagu -lagu, hingga gaya hidup orang Amerika, atau Barat menjadi trend di berbagai negara termasuk Indonesia. Pop Culture yang diproduksi secara massal di Amerika Serikat untuk kepentingan hiburan, merambah secara global, merasuk ke mana -mana dengan menawarkan mitos dan gaya hidup. Media-media global merambah dunia bukan hanya dengan jaringannya yang luas, content yang menarik, tetapi di dalamnya juga menawarkan mitos dan gaya hidup.

Budaya di Indonesia

William Liddle, seorang pemerhati Indonesia mengatakan bahwa yang dominan di Indonesia adalah apa yang disebutnya faham inbetweenness, suatu faham yang setengah-setengah dalam artian tidak menganut ideologi liberal dan tidak juga komunis, tidak sistem ekonomi pasar bebas dan tidak pula sistem ekonomi komando. Ada baiknya mempertahankan faham ini dengan kecenderungan untuk selalu memadukan sistem, pola pikiran dan nilai-nilai yang berlawanan atau berbeda, misalnya adalah mengupayakan sintesa dari ideologi liberal dan sosialis atau pandangan Barat dan pandangan Timur dalam kehidupan. (http://www.ahmadheryawan.com/kolom/94-kolom/4059-kebudayaan-dalam-era-globalisasi.html)

Kecenderungan ini nampaknya tetap kuat di dalam banyak bidang ekonomi, politik, hukum dan budaya. Memang Indonesia sepertinya tidak mampu dan tidak mau memilih suatu sistem secara utuh. Kita sepertinya dikendalikan oleh rasa ketidakpastian tanpa akhir. Dalam bidang ekonomi, kita menyaksikan kebijakan yang pada satu sisi sangat berpihak kepada liberalisasi ekonomi tetapi pada sisi lainnya seperti rnenegasikan liberalisasi ekonomi. Berbagai kebijakan yang memberikan lisensi khusus dengan berbagai fasilitasnya, yang pada gilirannya melahirkan oligopoli dan monopoli. Sementara pada sisi lainnya pemerintah mulai membatasi intervensi dalam kehidupan ekonomi seperti pengurangan subsidi dan sebagainya.

Dalam bidang sosial budaya kita juga menemukan hal yang sama yaitu terjadinya asimilasi budaya setengah hati. Kita sepertinya tidak sepenuhnya mau menerima pengaruh budaya asing padahal pintu-pintu bandara kita sudah terbuka lebar malah tanpa visa bagi beberapa wisatawan dari negara lain. Dari sisi ekonomi jelas ada pemasukan negara yang cukup besar, tetapi adalah tidak realistis menolak pengaruh budaya asing secara berlebihan dan menudingnya sebagai perusak budaya nasional. Aturan yang memperbolehkan parabola dan siaran satelit langsung menyerbu rumah-rumah kita secara bersamaan tentu masuk pula nilai-nilai budaya asing. anehnya, tumbuh pula semacam sikap xenophobia (ketakutan terhadap yang asing).

Inbetweenness, dapat juga kita maknai sebagai bentuk kehati-hatian, memilah-milah yang baik dan membuang yang buruk. Penafsiran kita tentang individu masyarakat sering dikaitkan orang dengan perbedaan kebudayaan Timur dan kebudayaan Barat. Hal ini misalnya kita baca Barat dicirikan dengan materialisme, rasionalisme dan individualisme, sedangkan Timur dengan faham anti terhadap ketiga isme tersebut. Dalam kaitan dengan kehidupan rohani dan spiritual, Timur mementingkan kehidupan rohani, mistik, sedangkan Barat tidak. Perbedaan ini yang kemudian butuh kejelian kita dalam mengadopsi segala sesuatu dari orang asing dalam era globalisasi. (source: idem)

Kondisi semacam ini tentu saja memunculkan kekhawatiran, bahkan krisis kebudayaan di berbagai negara. Budaya lokal, baik yang berupa seni maupun budaya pop lokal banyak yang terancam tersisihkan. Atau terkontaminasi dari budaya global dari Amerika. Walhasil ada ketegangan-ketegangan karena terjadinya benturan antara budaya global yang dianggap modern, dengan budaya lokal yang mewakili semangat nasionalisme atau bahkan kedaerahan, tapi juga yang berkesan tradisional.

Kekhawatiran atas Globalisasi Budaya

Kekhawatiran yang paling tampak justru muncul di negara tetangga dekat Amerika Serikat, yaitu Kanada. Negara ini karena saking khawatirnya dengan apa yang disebut “the invasion from the South”, pemerintahnya sampai memiliki kementerian warisan budaya (Ministre of Cultural Heritage). Yang tugas utamanya adalah menjaga budaya Kanada dari serbuan budaya dari Selatan (Amerika Serikat). Kementrian ini memberikan kemudahan terhadap berbagai produk budaya lokal di media massa. Disamping juga memberikan insentif terhadap tumbuhnya film-film kanada maupun bentuk budaya yang lain. Kanada layak khawatir, karena negara ini memang dibanjiri oleh media dan produk budaya Amerika. Sementara pada tahun 1997 Kanada pernah ditekan oleh World Trade Organisation (WTO), ketika melakukan pelarangan terhadap peredaran majalah Sports Illustrated milik kelompok Time Warner (Chesney, 2000:81).

Kanada tidak sendirian, Australia juga pernah mengalami tekanan dari WTO pada bulan April 1998, berkait dengan ketentuan kuota i si media domestik. Di negara-negara lain juga muncul isu sensitif adanya tekanan, untuk membuka pasar medianya. Norwegia, Denmark, Spanyol, Mexico, Afrika Selatan, dan Korea Selatan merupakan contoh yang memiliki tradisi memproteksi media domestik dan industri budaya nasional mereka. Pemerintah negara –negara tersebut mensubsidi film-film lokal dan berusaha melestarikan industri–industri kecil produksi film mereka. Di musim panas 1998, menteri kebudayaan dari 20 negara, termasuk Brasil, Mexico, Swedia, It aly dan Pantai Gading, bertemu di Ottawa membicarakan bagaimana mereka dapat membuat aturan dasar untuk melindungi ongkos budaya dari “Hollywood juggernaut” (serbuan luar biasa dari Hollywood). Rekomendasi pertemuan itu meminta agar perlindungan terhadap kebudayaan lokal dikeluarkan dari kontrol WTO (Chesney, 2000: 82).

Kondisi globalisasi yang timpang tersebut memang tidak berarti ‘dunia runtuh’, dan tidak pula semua orang menjadii pesimis. Ada suatu pemikiran yang menarik tentang efek globalisasi budaya. Sebagaimana dikemukakan oleh Richard Dawkins, ahli Biologi dari Oxford University, yang menunjukkan konsep ketahanan sosial masyarakat dari perubahan. Dawkins ilmuwan selebritis dari Inggris yang dikenal sebagai juru bicara teori Darwin dan penulis buku Selfish Gen (1978), mengungkapkan konsepsi meme dalam kehidupan sosial. Menurut Dawkins setiap kelompok sosial memiliki meme, sebagaimana individu memiliki gen yang akan senantiasa diturunkan kepada anaknya. Melalui meme, kelompok sosial akan mempertahan karakteristik nilai-nillai sosial dan budayanya kendati kelompok itu diterpa serbuan gencar budaya lain. Meme menyebar melalui komunikasi dan sosialisasi, ia merupakan suatu unit informasi yang tersimpan di benak seseorang, yang mempengaruhi kejadian di lingkungannya sedemikian rupa sehingga makin tertular luas ke benak orang lain (Lull, 1998).

Bisa jadi karena meme, bangsa Jepang kendati maju seperti Barat, tetapi budaya tradisional mereka tetap terpelihara dengan baik. Kesenian Tradisional Jepang seperti Kabuki, Sumo, Karate, ataupun Tarian Yosakoi justru malah berkembang dan dikenal di manca negara. Begitu pula orang Tionghoa, kendati sudah ratusan tahun berada di negara lain, budaya mereka tetap bertahan, dengan enclave China town di berbagai kota dunia. Tak heran kalau kalangan Tionghoa di berbagai perantauan masih akrab dengan kesenian China daratan seperti Barongsai, Liang Liong dan lain-lain. Ini juga berlaku untuk Orang Jawa yang sudah tinggal ratusan tahun di Suriname.

Postmodernisme sebagai Opsi Efektif bagi Globalisasi Budaya

Gerakan postmodernisme juga memberikan angin segar bagi budaya lokal dan seni tradisional. Ketika masyarakat sudah mengalami kejenuhan dengan berbagai hal yang bersifat modern dan global, maka justru mereka kembali kepada hal-hal bersifat etnik, tradisionil, atau dikenal dengan r etradisionalisasi. Namun terlepas dari itu semua, meningkatnya globalisasi dan komersialisasi dalam sistem media memang layak untuk dicermati dandiantisipasi. Fenomena komersialisasi media global dirasakan secara signifikan semakin menyatu dengan konsep neoliberal, ekonomi kapitalisme global. Hal demikian tidak aneh mengingat meningkatnya pasar media global disamping dikarenakan perkembangan teknologi digital yang baru dan teknologi satelit yang membuat pasar global menjadi semakin efektif dan lukratif (menguntungkan), sebenarnya juga dipelopori oleh institusi kapitalisme dunia, seperti World Trade Organisation (WTO), World Bank, International Monetery Fund (IMF), Pemerintah Amerika Serikat dan Perusahaan -perusahaan Transnasional.

Multikulturalisme sebagai salah satu varian postmodernisme bertekad untuk mengangkat perbedaan, bahwa perbedaan adalah suatu kemestian dalam budaya yang plural. Bisa saja multikulturalisme dianggap sebagai langkah terakhir pertahanan selera lokal yang makin tergusur. Di tengah serbuan imperialisme budaya global, bagaimana kearifan tradisional bisa bertahan? Jika bisa bertahan, dengan cara apa? Pertanyaan-pertanyaan serius seperti ini, sebenarnya masih terus berkubang pada tingkatan teoritik dibanding praksis.

Dilema terbesar yang mengguncang kearifan tradisional adalah permainan bebas penanda-penanda budaya global. Proses simulasi yang memang dicirikan oleh relatifisme tanda. Untuk menjaga kearifan tradisional dan melawan relativisasi tanda ini apakah mesti melalui metode otoritarianisme tanda. Dalam arti kearifan tradisional manapun sebagai nilai dipertahankan dalam suatu struktur simbolik yang alamiah atau pasti dan menjaganya untuk tidak berdialektika dengan realitas manapun terutama pengaruh modernitas.

Mungkin inilah metode yang sering dipahami dan dipakai oleh kalangan teorisasi budaya lokal untuk mempertahankan forma-forma kearifan tradisional yang berbentuk budaya lokal. Dengan menutup pintu bagi sifat kesewenang-wenangan tanda dan membentuk sifat fasis tanda. Langkah ini memang cukup taktis dengan implikasi serius dalam penerapannya, misalnya munculnya beberapa komunitas budaya tertutup yang menentang segala pengaruh dari luar tradisi mereka.


Globalisasi dan Kebudayaan via Media



Kekhasan khazanah budaya, di samping memberi isi kepada jati diri budaya bangsa, juga merupakan milik yang dapat diposisikan sebagai keunggulan komparatif dalam bidang industri budaya. Bangsa Indonesia dengan segala potensinya pada sumber daya manusia maupun sumber daya budayanya justru perlu dilestarikan untuk dapat menunggangi dan mengarahkan globalisasi.

Pendidikan budaya bagsa berangkat dari pemahaman bahwa setiap ekspresi kebudayaan memiliki nilai-nilai positifnya masing-masing dan tidak ada superioritas satu budaya atas budaya lainnya. Karena bagaikan satu keping mata uang dengan dua sisi yang berbeda, satu sisi globalisasi mengarahkan semua orang untuk mengadopsi pola kebudayaan yang seragam. Pada sisi lainnya, kecenderungan ini telah memicu munculnya resistansi dari budaya-budaya lokal yang merasa eksistensinya terancam seiring gelombang penyeragaman ini. Bagaimanapun, globalisasi tetap memberikan ruang toleransi terhadap keragaman budaya. Toleransi tersebut dapat dijadikan modal sosial dan tidak mengarah kepada proses saling mengeksklusi antara budaya satu dengan budaya lainnya, akan tetapi menjelma menjadi modal utama bagi terciptanya dialog dan kerja sama multikultural yang berkeadilan.

Dunia saat ini memerlukan hubungan kerjasama yang positif sekaligus menerima beragam pluralitas yang ada. Masyarakat global mesti bisa memandang dunia sebagai satu kesatuan di tengah pelbagai perbedaan yang ada. Karena itu, kita mesti memiliki visi baru mengenai hubungan dan kerjasama regional dan internasional. Sehingga dunia terus berjalan dan bisa diminimalisir dari segala bentuk ketegangan, konflik, intervensi dan hegemoni kekuatan adidaya. Kita harus proaktif di dalamnya. Di situ kita harus “go global” dengan local specifics Indonesia, sehingga Indonesia lebih dikenal sebagai aktor tangguh dalam proses globalisasi, baik dari aspek budaya maupun dari aspek keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh dari perkembangan kesenian dan kebudayaan Indonesia.

Tuesday, February 16, 2010

KEKEBALAN DIPLOMATIK ATAS DIPLOMAT DAN KELUARGANYA

Definisi

Kekebalan diplomatik adalah bentuk kekebalan hukum dan kebijakan yang dilakukan antara pemerintah, yang menjamin bahwa diplomat diberikan perjalanan yang aman dan tidak dianggap rentan terhadap gugatan atau penuntutan di bawah hukum negara tuan rumah (walaupun mereka bisa dikeluarkan). Disepakati sebagai hukum internasional dalam Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik (1961). Banyak prinsip-prinsip kekebalan diplomatik sekarang dianggap sebagai hukum adat. Kekebalan diplomatik sebagai lembaga yang dikembangkan untuk memungkinkan pemeliharaan hubungan pemerintah, termasuk selama periode kesulitan dan bahkan konflik bersenjata. Ketika menerima diplomat-formal, wakil-wakil dari berdaulat (kepala negara)-yang menerima hibah kepala negara hak-hak istimewa dan kekebalan tertentu untuk memastikan bahwa mereka dapat secara efektif melaksanakan tugas-tugas mereka, dengan pengertian bahwa ini akan diberikan pada dasar timbal-balik.

Sejarah

Selama evolusi keadilan internasional, banyak perang dianggap sebagai pemberontakan atau melanggar hukum oleh satu atau lebih pejuang sisi. Dalam kasus tersebut, para hamba yang "kriminal" berdaulat sering dianggap sebagai antek-antek yang martabatnya dilecehkan. Dalam situasi lain, pertanda tak berarti tuntutan tewas sebagai deklarasi perang. Herodotus mencatat bahwa ketika pembawa Raja Persia Darius Agung menuntut "bumi dan air", yaitu, simbol-simbol ketundukan, dari berbagai kota Yunani, orang Athena melemparkan mereka ke dalam lubang dan Spartan melemparkannya ke dalam sumur, yang menunjukkan mereka akan menemukan baik bumi dan air di bagian bawah.

Dalam tradisi Islam, seorang utusan tidak boleh dirugikan, bahkan jika datang dari musuh dan bantalan yang sangat provokatif atau pesan ofensif. Sebuah atribut hadits sunnah ini kepada waktu ketika utusan Musaylimah dikirim kepada Nabi Muhammad. Nabi mengatakan kepada mereka, "Aku bersumpah demi Allah bahwa sekiranya bukan karena utusan tidak mati, aku akan memotong kepala".

Diplomat dipandang sebagai seorang penyampai amanah yang harus dihormati, melanggar hal tersebut biasanya dipandang sebagai pelanggaran besar atas kehormatan, walaupun ada beberapa kasus di mana diplomat telah dibunuh. Jenghis Khan dan Bangsa Mongol yang dikenal sangat menekankan pada hak-hak diplomat, dan mereka akan sering mengambil pembalasan yang mengerikan terhadap negara manapun yang melanggar hak-hak ini.

Pada tahun 1538, Raja Francis I dari Perancis mengancam Edmund Bonner-Henry VIII's Duta Besar Inggris untuk Perancis dan mendapat pukulan seratus tombak berkapak sebagai hukuman karena Bonner dinilai berperilaku kurang ajar. Meskipun dalam hal ini hukuman itu tidak benar-benar dijatuhkan, peristiwa ini dengan jelas menunjukkan bahwa raja Eropa pada saat itu tidak menganggap duta besar asing kebal dari hukuman.

Awal Imunitas Modern

Dimulai sejak abad ke-16 dan 17 di Eropa dimana pertukaran perwakilan diplomatik sudah dianggap sebagai hal yang umum saat itu, hal mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik sudah dapat diterima dalam praktik negara-negara dan pada abad ke-17 sudah dianggap sebagai sebuah kebiasaan internasional. Kekebalan dan keistimewaan diplomatik tidak terbatas ada kepala perwakilannya saja, akan tetapi juga terhadap anggota keluarganya yang tinggal bersamanya, diplomat lain yang menjadi anggota perwakilan dan kadang-kadang staf pembantu lain.

Pada pertengahan abad ke 18, aturan-aturan kebiasaan hukum internasional mengenai kekebalan diplomatik mulai diterapkan termasuk harta milik, gedung dan sarana komunikasi para diplomat. Untuk menunjukkan kekebalan itu, dikenal istilah ekstrateritorialitas. Tujuan dari pengenaan ekstrateritorialitas itu adalah demi keperluan para perwakilan dalam menjalankan tugasnya dengan bebas dan optimal.

Pada abad ke 20, kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu cenderung mengarah pada bentuk baru komunikasi diplomatik. Adapun beberapa kodifikasi dan aturan dalam hukum diplomatik, terutama :

1.Konvensi Havana mengenai pejabat diplomatik.
2.Harvard Research draft convention on diplomatic priveleges and immunities tahun 1932.

Kekebalan diplomatik modern berkembang sejajar dengan perkembangan diplomasi modern. Pada abad ke-17, diplomat Eropa menyadari bahwa perlindungan dari tuntutan adalah penting untuk melakukan pekerjaan mereka dan satu set aturan berevolusi menjamin hak-hak para diplomat. Ini masih terbatas pada Eropa Barat, dan berhubungan erat dengan hak istimewa bangsawan. Dengan demikian seorang utusan ke Kekaisaran Ottoman dapat dipastikan akan ditangkap dan dipenjarakan atas pecahnya permusuhan antara negara dan kerajaan. Revolusi Perancis juga mengganggu sistem ini sebagai negara revolusioner dan Napoleon memenjarakan sejumlah diplomat yang dituduh bekerja melawan Perancis. Bahkan baru-baru ini, krisis sandera Iran secara universal dianggap sebagai pelanggaran terhadap kekebalan diplomatik (sandera taker walaupun tidak secara resmi mewakili negara, negara tuan rumah mempunyai kewajiban untuk melindungi properti dan personel diplomatik). Di sisi lain, dalam Perang Dunia Kedua, kekebalan diplomatik itu ditegakkan dan dievakuasi melalui kedutaan-kedutaan negara-negara netral.

Pada abad kesembilan belas Kongres Wina menegaskan kembali hak-hak diplomat, dan mereka telah sangat dihormati sejak saat itu sebagai perwakilan dari suatu negara. Sistem yang itetapkan di Eropa ini telah menyebar di seluruh dunia. Saat ini, kekebalan diplomatik, serta hubungan diplomatik secara keseluruhan, diatur secara internasional oleh Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik yang telah diratifikasi oleh hampir setiap negara di dunia.


Landasan Hukum

Ada 3 teori mengenai landasan hukum dari kekebalan dan keistimewaan diplomatik, yaitu :

1. Teori ekstrateritorialitas
Diplomat dianggap seoalh-olah tidak meninggalkan negaranya. Teori ini didasarkan pada suatu fiksi dan bukan dari realitas sehingga banyak dikritik.

2. Teori representatif
Para pejabat diplomatik mewakili negara pengirim dan kepala negaranya, karena itulah ia mendapatkan hak istimewa dan kekebalan sebab dengan adanya pemberian itu, maka negara penerima dianggap menghormati kedaulatan negara pengirim. Teori ini berasal dari era kerajaan masa lalu. Meski demikian, pemberian hak-hak itu tidak memiliki batasan yang jelas dan acapkali menimbulkan kebingungan hukum.

3. Teori fungsional
Pemberian hak-hak kekebalan dan keistimewaan itu hanya didasarkan pada kebutuhan fungsional agar para pejabat diplomatik dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Teori ini dianggap dapat memberikan batasan atas semua hak-hak itu sehingga digunakan menjadi ketentuan dalam konvensi Wina 1961.


Kekebalan Dan Kewenangan Pejabat Perwakilan Diplomatik

Mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik itu dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Inviolability
Diperuntukkan kekebalan terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan terhadap semua gangguan yang merugikan serta mendapatkan perlindungan dari aparat negara yang berkepentingan.

b. Immunity
Kekebalan dari yurisdiksi negara penerima.
Kekebalan diplomatik adalah hal yang tidak dapat diganggu gugat, kekebalan diplomatik yang diberikan berdasarkan Konvensi Wina 1961 dapat dikelompokkan menjadi :

a. Kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik
Kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik dalam Pasal 29 Konvensi Wina 1961 disebutkan bahwa:

The person of a diplomatic agent shall be inviolable. He shall not be liable to any form of arrestor detention. The receiving State shall treat him with due respect and shall take all appropriate steps to prevent any attack on his person, freedom or dignity.

Agen diplomatik tidak dapat diganggu-gugat. Dia tidak akan bertanggung jawab kepada setiap bentuk penangkapan dan penahanan. Negara penerima akan memperlakuannya dengan hormat dan akan mengambil semua langkah yang tepat apapun serangan terhadap dirinya, kebebasan atau martabat.

Kekebalan diri pribadi pejabat diplomatik dapat diperinci menjadi empat bagian, antara lain:

1). Kekebalan terhadap kekuasaan negara penerima

Kekebalan dalam bentuk ini misalnya adalah kekebalan terhadap paksaan, penahanan dan penangkapan. Ketentuan ini memberikan petunjuk bagi alat-alat negara penerima untuk tidak melakukan hal-hal tersebut. Ketentuan-ketentuan tersebut merupakan pengertian yang terdapat dalam penjelasan Pasal 29 Konvensi Wina 1961.

a. Hak mendapatkan perlindungan terhadap gangguan atau serangan atas diri pribadi dan kehormatannya.

Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap gangguan, serangan atas kebebasan dan kehormatan diri pejabat diplomatik sebagaimana di Indonesia yang telah menjamin dan mengatur dalam Pasal 143 dan 144 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.

Pasal 143 KUHP menyebutkan:

“Penghinaan dengan sengaja terhadap wakil negara asing di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”

Pasal 144 KUHP menyebutkan:

1. Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap raja yang memerintah, atau kepala negara sahabat, atau wakil negara asing di Indonesia dalam pangkatnya, dengan maksud supaya penghinaan itu diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2. Jika yang bersalah melakukan kejahatan itu pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang tetap karena kejahatan semacam itu juga, ia dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.

b. Kekebalan terhadap jurisdiksi pengadilan negara penerima diatur dalam Pasal 31 Konvensi Wina 1961, antara lain:

1. Seorang wakil diplomatik akan menikmati kekebalan dari pengadilan kriminil (pidana) dari negara penerima. Ia juga menikmati kekebalan dari pengadilan sipil dan administratifnya, kecuali dalam hal:

a. Tindakan nyata yang berhubungan dengan barang milik tak bergerak pribadi yang terletak di daerah negara penerima, kecuali apabila ia menguasainya atas nama negara pengirim untuk maksud misi;
b. Tindakan nyata yang berhubungan dengan penggantian, dalam mana wakil diplomatik itu terlibat sebagai pelaksana/administrator, ahli waris atau penerima harta pusaka sebagai perorangan dan tidak atas nama negara pengirim;
Tindakan yang berhubungan dengan kegiatan profesional atau komersial, yang dilakukan oleh wakil diplomatik di negara penerima, di luar fungsi resminya.

2. Wakil diplomatik tidak diharuskan memberi bukti sebagai saksi

3. Tidak boleh diambil tindakan pelaksanaan hukum terhadap wakil diplomatik kecuali dalam hal-hal yang datang di bawah sub-ayat (a), (b),dan (c) dari ayat (1) pasal ini, dan asalkan tindakan yang bersangkutan dapat diambil dengan tidak melanggar kekebalan pribadinya atau tempat kediamannya.

4. Kekebalan wakil diplomatik dari pengadilan negara penerima tidak membebaskannya dari pengadilan negara pengirim.
Kekebalan perwakilan diplomatik terhadap tuntutan pengadilan kriminil (31 Konvensi Wina 1961), bukan berarti bahwa seorang wakil diplomatik tidak menghormati dan menghargai undang-undang dan peraturan negara penerima. Tanpa mengurangi hak istimewa dan kekebalan diplomatik merupakan suatu kewajiban dari orang yang menikmati hak istimewa dan kekebalan untuk menghormati hukum-hukum dan peraturan-peraturan dari negara penerima. Di samping itu ia juga mempunyai kewajiban untuk tidak ikut campur urusan dalam negeri dari negara setempat.

Tuntutan sipil dalam bentuk apapun tidak dapat dilakukan terhadap seorang wakil diplomatik asing, dan tidak ada tindakan sipil apapun yang berhubungan dengan utang piutang dan lain-lainnya, yang serupa yang dapat diajukan terhadap wakil-wakil diplomatik di depan pengadilan-pengadilan sipil dari negara penerima. Wakil diplomatik tidak dapat ditangkap karena utang-utang mereka, juga terhadap alat-alat perkakas rumah tangga mereka, kendaraan bermotor dan lain-lain yang mereka miliki, disita untuk membayar utangnya.

c. Kekebalan dari kewajiban menjadi saksi

Pasal 31 ayat 2 Konvensi Wina 1961 mengandung ketentuan sebagai berikut:

A diplomatic agent is not obliged to give evidence as a witness.

Artinya bahwa seorang wakil diplomatik tidak dapat dipaksa untuk bertindak sebagai seorang saksi dan untuk memberikan kesaksiannya di depan pengadilan, baik peradilan sipil atau perdata, peradilan pidana maupun peradilan administratif. Begitu pula para anggota keluarga dan para pengikutnya tidak dapat dipaksa untuk bertindak sebagai saksi di depan pengadilan sehubungan dengan yang mereka ketahui. Namun apabila dilihat dari segi untuk menjaga hubungan baik kedua negara, sebaiknya tidak dipegang secara mutlak dan pemerintah negara pengirimnya dapat secara khusus menghapus atau menanggalkan kekebalan diplomatik tersebut dengan pernyataan yang tegas dan jelas.

d. Kekebalan kantor perwakilan dan rumah kediaman perwakilan diplomatik:
Larangan mengganggu dan kewajiban memberikan perlindungan terhadap perwakilan diplomatik asing merupakan kesepakatan yang diakui secara universal dan telah dilakukan oleh negara-negara sejak jaman dahulu. Konsep ini merupakan akibat didirikannya misi diplomatik tetap di suatu negara yang mutlak memerlukan perlindungan terhadap campur tangan asing. Oleh karena itu, negara penerima berkewajiban memgambil segala tindakan yang diperlukan agar kantor ataupun rumah kediaman perwakilan diplomatik bebas dari segala gangguan.

Tidak diganggu–gugatnya gedung perwakilan asing suatu negara pada hakikatnya menyangkut dua aspek. Aspek pertama adalah mengenai kewajiban negara penerima untuk memberikan perlindungan sepenuhnya sebagai perwakilan asing di negara tersebut dari setiap gangguan. Aspek kedua adalah kedudukan perwakilan asing itu sendiri yang dinyatakan kebal dari pemeriksaan termasuk barang-barang miliknya dan semua arsip yang ada di dalamnya.
Pasal 22 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bahwa:

i. Gedung-gedung perwakilan asing tidak boleh diganggu-gugat. Alat-alat negara dari negara penerima tidak diperbolehkan memasuki gedung tersebut kecuali dengan izin kepala perwakilan;
ii. Negara penerima mempunyai kewajiban khusus untuk mengambil langkah-langkah seperlunya guna melindungi perwakilan tersebut dari setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan ketenangan perwakilan-perwakilan atau yang menurunkan harkat dan martabatnya;
iii. Gedung-gedung perwakilan, perabotannya dan harta milik lainnya yang berada di dalam gedung tersebut serta kendaraan dari perwakilan akan dibebaskan dari pemeriksaan, penuntutan, pengikatan atau penyitaan.

Pengaturan Pasal 22 ayat 1 dan 3, pada hakikatnya menyangkut kekebalan di dalam gedung perwakilan itu sendiri, termasuk perabotan harta milik lainnya dan kendaraan-kendaraan perwakilan. Sedangkan dalam ayat 2 berkenaan dengan kewajiban negara setempat guna melindungi perwakilan beserta isi di dalamnya yang tersebut dalam ayat 1 dan 3. Makna lain dari ayat 2 tersebut dapat diartikan menyangkut kekebalan di lingkungan gedung perwakilan itu sendiri. Karena itu perlindungan negara penerima yang diberikan bukan saja di lakukan di dalam gedung perwakilan (interna rationae) tapi juga di luarnya ataupun lingkungan sekitarnya (externa rationae).

Hubungannya dengan hak kekebalan dari gedung perwakilan asing, maka negara pengirim dibebankan suatu kewajiban khusus untuk mengambil tindakan-tindakan atau langkah-langkah yang dianggap perlu guna melindungi tempat kediaman dan tempat kerja perwakilan itu, terhadap setiap pemasukan yang tidak sah atau perbuatan pengrusakan serta melindungi perbuatan pengacauan terhadap ketentraman dari pada perwakilan asing atau dari perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kehormatan negara pengirim.

e. Kekebalan korespondensi (berkenaan dengan kerahasiaan dokumen).
Para pejabat diplomatik dalam menjalankan tugasnya mempunyai kebebasan penuh, dan dapat menjalankan komunikasi secara rahasia dengan pemerintahnya. Diakui secara umum bahwa kebebasan berkomunikasi juga berlaku bagi semua korespondensi resmi antara perwakilan dengan pemerintahnya, dan kebebasan ini harus dilindungi oleh negara penerima. Surat menyurat pejabat diplomatik tidak boleh digeledah, ditahan, atau disensor oleh negara penerima. Perwakilan diplomatik dapat menggunakan kode dan sandi rahasia dalam komunikasinya dengan negara pengirim, sedangkan instalasi radio dan operasi pemancar radio hanya dapat dilakukan atas dasar izin negara setempat. Kurir diplomatik yang berpergian dengan paspor diplomatik tidak boleh ditahan atau dihalang-halangi.

Pasal 27 Konvensi Wina 1961 menjamin komunikasi secara bebas dari misi perwakilan asing dengan maksud yang layak. Artinya hak untuk berhubungan dengan bebas ini adalah hak seorang pejabat diplomatik, di dalam surat-menyurat, mengirim telegram dan berbagai macam perhubungan komunikasi. Dan perhubungan bebas ini dapat berlangsung antara pejabat diplomatik dengan pemerintahannya sendiri atau pemerintah negara penerima maupun perwakilan diplomatik asing lainnya.

Pasal 27 ayat 1 Konvensi Wina 1961 menyebutkan bahwa:
The receiving State shall permit and protect free communication on the part of the mission for all official purposes. In communicating with the Government and the other missions and consulates of the sending State, wherever situated, the mission may employ all appropriate means, including diplomatic couriers and messages in code or cipher. However, the mission may install and use a wireless transmitter only with the consent of the receiving State.

Adapun yang dimaksud adalah, negara penerima akan memberikan izin dan perlindungan untuk kebebasan berkomunikasi dari pihak perwakilan asing suatu negara, guna kepentingan semua tujuan resmi (official purposes) dari perwakilan asing tersebut yaitu dalam hal mengadakan komunikasi dengan pemerintah negara pengirim dan dengan perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler lainnya dari negara penerima, di mana saja tarletak dan perwakilan diplomatik itu diperbolehkan untuk menggunakan semua upaya-upaya komunikasi yang seperlunya, termasuk kurir-kurir diplomatik, diplomatic bags, dan alat perlengkapan seperlunya yang dipergunakan dalam mengadakan komunikasi tersebut.

f. Kekebalan dan keistimewaan di negara ketiga.
g. Penanggalan kekebalan diplomatik.
h. Pembebasan dari pajak dan bea cukai/bea masuk.

Berdasarkan pada konvensi Wina 1961 itu, kekebalan itu diberikan pada :
a. Pejabat perwakilan diplomatik.
b. Staf pribadi
c. Anggota keluarga pejabat diplomatik
d. Kurir diplomatik dan lainnya.

Penyalahgunaan Kekebalan

Konvensi Wina adalah eksplisit bahwa "tanpa prasangka terhadap hak-hak istimewa dan kekebalan mereka, itu adalah tugas semua orang menikmati hak istimewa dan kekebalan untuk menghormati hukum dan peraturan dari Negara penerima." Namun demikian, dalam beberapa kesempatan, kekebalan diplomatik mengakibatkan hasil yang malang; dilindungi diplomat telah melanggar undang-undang (termasuk orang-orang yang akan pelanggaran di rumah juga) dari negara tuan rumah dan negara yang telah dasarnya terbatas untuk menginformasikan kepada bangsa yang diplomat diplomat tidak lagi diterima (persona non grata). Agen diplomatik tidak Namun, dikecualikan dari yurisdiksi negara asal mereka, dan karenanya penuntutan dapat dilakukan oleh negara pengirim, karena pelanggaran kecil hukum, negara pengirim dapat menetapkan prosedur administratif yang spesifik untuk layanan atau luar negeri misi diplomatik.

Pelanggaran terhadap hukum oleh diplomat sudah termasuk spionase, penyelundupan, pelanggaran hukum perwalian anak, dan bahkan pembunuhan: di London pada tahun 1984, polisi Yvonne Fletcher tewas di jalan oleh orang menembak dari dalam kedutaan Libya. Insiden itu menyebabkan kerusakan dalam hubungan diplomatik sampai Libya mengakui "tanggung jawab umum" pada tahun 1999.

Minor espionages, atau mengumpulkan informasi dari negara-negara tuan rumah dilakukan di setiap kedutaan. Posisi tipikal petugas intelijen adalah sebagai Atase kedua, Visa Atase atau posisi lain tanpa tanggung jawab jelas. Di Amerika Serikat, ini adalah kebijakan dari Dinas Luar Negeri tidak untuk mengkonfirmasi atau menyangkal keberadaan personel intelijen di kedutaan besar AS.

Sebuah masalah khusus adalah kendaraan kekebalan diplomatik biasa peraturan lalu lintas seperti larangan parkir ganda. Terkadang, masalah tersebut mungkin mengambil giliran paling serius, ketika mengabaikan peraturan lalu lintas mengarah pada membahayakan tubuh atau kematian.

Contoh Kasus Cedera dan kematian

* Wakil Duta Besar Republik Georgia untuk Amerika Serikat, Gueorgui Makharadze, menyebabkan kecelakaan pada Januari 1997, empat orang terluka dan membunuh gadis berusia enam belas tahun. Dia ditemukan memiliki tingkat alkohol darah lebih dari 0,15, tetapi dibebaskan dari tahanan karena dia seorang diplomat. Pemerintah Amerika Serikat meminta pemerintah Georgia untuk menarik kembali kekebalan-Nya. Georgia me lakukannya dan Makharadze diadili dan dihukum karena pembunuhan oleh AS dan dijatuhi hukuman dua puluh satu tahun di penjara.

* Seorang Marinir Amerika yang melayani kedutaan di Bucharest, Rumaniam, bertabrakan dengan taksi dan membunuh musisi populer Rumania, Teo Petrus, pada 3 Desember 2004. Christopher Van Goethem, diduga mabuk, tidak menaati lalu lintas sinyal untuk berhenti, yang mengakibatkan tabrakan dari kendaraan miliknya, Ford Expedition, dengan taksi yang dinaiki bintang itu. Kandungan alkohol di darah Van Goethem diperkirakan 0,09 berdasarkan breathalyser tes, tetapi ia menolak untuk memberikan sampel darah untuk pengujian lebih lanjut dan berangkat ke Jerman sebelum kasusnya dapat diajukan di Rumania. Pemerintah Rumania meminta pemerintah Amerika mengangkat kekebalan atas diplomatnya, tetapi Amerika menolak untuk melakukannya.

* Seorang diplomat Rusia terakreditasi ke Ottawa, Kanada mengemudikan mobil dan menabrak dua pejalan kaki di jalan perumahan yang tenang pada bulan Januari 2001, menewaskan satu dan melukai serius yang lain. Andrey Knyazev sebelumnya telah dihentikan oleh polisi Ottawa pada dua kesempatan terpisah dan dicurigai memiliki gangguan mengemudi. Pemerintah Kanada meminta agar Rusia mengabaikan kekebalan diplomat, meskipun permintaan ini ditolak. Knyazev kemudian dituntut di Rusia untuk pembunuhan tidak disengaja, dan dijatuhi hukuman empat tahun penjara.

* Seorang diplomat Amerika, Konsul Jenderal Douglas Kent, ditempatkan di Vladivostok, Rusia terlibat dalam sebuah kecelakaan mobil pada 27 Oktober 1998, yang menewaskan seorang pemuda, Alexander Kashin, menyebabkan kelumpuhan permanen. Kent tidak dituntut di pengadilan AS. Di bawah Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler 1963, kekebalan diplomatik tidak berlaku untuk tindakan sipil yang berhubungan dengan kecelakaan kendaraan. Namun, pada tanggal 10 Agustus 2006, Pengadilan Banding AS memutuskan bahwa karena ia menggunakan kendaraan sendiri untuk keperluan konsuler, Kent mungkin tidak dapat digugat secara sopan.

Berakhirnya Kekebalan Diplomatik

Kekebalan diplomatik dimulai sejak (menurut Oppenheimer-Lauterpact) :

Pemerintah negara penerima telah memberikan agreement pada sang calon dubes untuk diakreditasikan sebagai dubes di negara penerima. Kedubes negara tersebut di negara pengirim telah memberikan visa diplomatik Kedatangan pertama dubes itu telah diberitahukan pertama kali pada kementrian luar negeri negara penerima.


Kekebalan diplomatik berakhir sejak (menurut Starke):

Pemanggilan kembali dari negaranya, pemanggilan kembali atas permintaan negara penerima,
penyerahan paspor pada wakil dan staf serta para keluarganya sang diplomat pada pecahnya perang antara kedua negara yang bersangkutan, ketika selesainya masa tugas, dan ketika berakhirnya surat kepercayaan yang diberikan dalam jangka waktu tertentu yang telah ditentukan dalam kepercayaan.



SOURCE:
Disadur pada: Senin, 16 November 2009 pada 20:47pm
http://www.kaskus.us/showthread.php?p=119984776#post119984776
http://www.sigitfahrudin.co.cc/2009/04/macam-macam-hak-istimewa-dan-kekebalan.html
roysanjaya.blogspot.com/.../kekebalan-dan-keistimewaan-diplomatik.html
roysanjaya.blogspot.com/.../pengertian-sejarah-dan-sumber-hukum.html