Friday, March 5, 2010

Regionalism: the thought and the deed by Paul Taylor

Groom A.J.R. & Paul Taylor (ED) Frameworks for International Cooperation. Pinter Publisher. London, 1990. Hlm 151-171


Regionalisme merupakan sesuatu yang luput dari dunia para penstudi pada kurun waktu antara 1970-an dan 1980-an. Pada waktu yang sama regionalisme muncul dalam bentuk praktek nyata yang memiliki perbedaan satu sama lain di hampir seluruh bagian dunia. Terdapat banyak pendapat atas karakter penting dari regionalisme itu sendiri. Salah satu yang paling sering muncul adalah Regionalisme sebagai sebuah skala area geografis yang satu sama lainnya melakukan kerjasama karena merasa cocok akan kesamaan atas kemampuan negara yang terkadang diukur berdasarkan kesejahteraan dari individualnya atau tujuan-tujuan pemerintahannya. Area tersebut harus pula melewati batas-batas kenegaraan dengan cara menjadi bagian langsung dari sebuah teritori.

Hal yang patut dipikirkan lebih lanjut adalah bahwa regionalisme memiliki ketertarikan yang berbeda tergantung wilayahnya sendiri, setiap wilayah memiliki fungsi yang mereka anggap paling efisien untuk dijalankan karena regionalisme merupakan sebuah konsep yang utilitarian. Regionalisme dapat muncul sebagai konsep yang mengedepankan strategi untuk memfokuskan kesetiaan bersama pada institusi, simbol, atau bahkan terkadang sesuatu yang disebut icon dari sebuah area yang lebih besar, walaupun hal ini tidak selalu dilakukan.

Definisi dari regionalisme itu sendiri dapat dipertajam dengan mempertimbangkan konsep yang memiliki pendapat kontras dengan definisi awal regionalisme. Salah satu konsep yang berlawanan dengan konsep regionalisme adalah konsep nasionalisme yang mempertegas dan mengutamakan kesatuan negara dan kekuatan bangsa. Konsep lainnya yang merupakan kontra dari regionalisme adalah konsep doktrin ‘one-world’ yang dengan tegas menentang konsep regionalisme. Mereka adalah pemegang konsep yang menganggap bahwa persatuan dunia yang dicapai dengan kesetaraan global dalam segala aspek dalam level negara.

Katagori ketiga yang merupakan opponent dari regionalisme adalah mereka yang menganggap regionalisme sebagai bentuk general yang secara tidak langsung mengarah pada sektoralisme. Seperti pendapat dari Groom, Burton, dan yang lainnya yang menganggap keterikatan area geografis bertanggung jawab atas terbentuknya institusi dalam bentuk fungsional yang akan dipandang sebagai co-extensive, walaupun hal tersebut dapat mengakibatkan overlap dalam cobweb yang telah ada, pencapaian individu yang gagal tidak dapat dikatagorikan sebagai kegagalan teritori, karena mereka telah dipersatukan oleh sebuah institusi regional tunggal yang berfokus pada satu keunggulan bersama teritori.

Masing-masing dari ketiga pilihan opponent regionalisme ini memiliki pendapat-pendapat ekstrim berkaitan dengan pencapaian regional. Pada akhirnya, keikutsertaan suatu negara dalam perjanjian regional secara berkesinambungan menghasilkan pencapaian bagi negara anggotanya; dan global community dapat menganggap regional sebagai substrukturnya.

Namun demikian, sektoralisme telah membuat kesepakatan dan telah muncul sebagai teori major dan pengaplikasian alternatif bagi regionalisme. Pengakuan ini menunjukkan bahwa pancapaian sektoral dapat terlihat cacat, hal ini menjadikan munculnya efek yang besar bagi regionalisme, bahwa sektoralisme memang hanya merupakan major alternatif.

Pertimbangan kembali atas konsep regionalisme harus juga berdasarkan diskusi-diskusi atas alasan kemunduran pembahasan regionalisme selama periode 1970-an. Yang sepertinya terjadi adalah bahwa pertimbangan atas regionalisme sebagai sebuah fenomena atau hanya sebagai doktrin politis membuat regionalisme menjadi tidak populer, dan regionalisme ada saat itu digantikan oleh pengkajian atas pengoperasian kebijakan khusus di beberapa daerah di belahan dunia. Dengan kata lain, pada level lokal telah terdapat pembicaraan mengenai pengkajian kewilayahan tetapi bukan regionalisme.

Bagaimanapun juga, sangat penting untuk menyadari bahwa tulisan yang berisi kajian mengenai regionalisme sangat luas. Setidaknya terdapat lima katagori yang dapat dideteksi. Yang pertama adalah kajian yang berfokus pada pembangunan dan aplikasi dari berbagai indikator regionalisme. Pertanyaan utamanya adalah sejauh apakah regionalisme mencakup dimensi dari aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik serta keterkaitannya? Buku klasik yang membahas mengenai hal tersebut ditulis oleh Bruce Russet, pertama kali dipublikasikan tahun 1969 dan diterbitkan kembali pada tahun 1976.

Russet berpendapat bahwa terdapat keterkaitan antara tingkat region yang memperlihatkan keterkaitan antara kesamaan sosial dan budaya dengan saling menghormati beberapa atribut internal satu sama lain. Sejauh apa region membagi perilaku politiknya atau sikap externalnya. Sayangnya karyanya ini, yang menggunakan metode kuantitatif yang modern, juga menjadi salah satu alasan kemunduran minat pada subject ini. Russet menyimpulkan bahwa:

“Tingkat kesesuaian antara induktif cluster yang dihasilkan oleh berbagai kriteria akan relatif rendah, yaitu pengelompokan sosial-budaya tidak akan sangat mirip dengan kelompok-kelompok politik, dan kelompok perdagangan”

Russet juga menambahkan,

“Tidak ada regional atau unit total nasional, yang dalam arti sempit cocok batas diidentifikasi sebagai sub-sistem internal ... Seperti subsistem harus diidentifikasi secara empiris oleh kesepakatan kriteria yang berbeda”

Tipe kajian kedua mengenai regionalisme terkait dengan deskripsi atas integrasi yang dinamis. Terminologi yang digunakan dalam pendefinisian regionalisme yang disebutkan sebelumnya, faktor-faktor apakah yang akan mempengaruhi kecenderungan penyelesaian masalah di level regional. Para penstudi yang memepertanyakan hal ini datang dari golongan neo-functionalist, mereka menjabarkan bagaimana integrasi regional berubah. Oleh karena itu mereka mulai mengembangkan variabel dinamis seperti ‘spill-over’. Kajian ini juga menjadi tidak terlalu populer di tahun 1970-an karena dianggap telah gagal untuk memprediksi pembangunan integrasi regional di wilayah Eropa Barat. Seorang pemuka neo-functionalist, Ernest B. Haas, dengan kesadarannya mengulas sedikit dari teori usang dalam artikelnya yang berjudul ‘obsolescence of regional integration theory’ pada tahun 1976, walaupun pada akhirnya banyak yang menganggap artikel tersebut merupakan artikel yang prematur.

Tipe kajian ketiga lebih kepada mencari apakah motif dari regionalisme pada awalnya dan motif politik dari siapapun yang berpartisipasi di dalam prosesnya. Apakah ada harga yang harus dibayar serta manfaat dari bergabungnya suatu negara dengan organisasi regional. Keterlibatan dapat menjadi awal yang baik yang berupa dukungan umum bagi integrasi regional. Secara tidak langsung, hal tersebut dapat mewakili percobaan yang akan merujuk pada peningkatan spesifik, seperti perekonomian yang membaik, dan meningkatkan komunikasi dengan negara lain yang berada di dalam satu region. Sebagaimana argumen yang dikeluarkan oleh Josph Nye dalam artikelnya pada tahun 1972 yang menyebutkan bahwa : disamping ketidakjelasan argumen yang diberikan oleh Russet tentang indikator dari regionalisme, telah dapat dilihat dengan jelas dari bukti nyata bahwa kerjasama pemerintahan regional semakin menjamur dan terus bertambah.

Tipe kajian yang keempat adalah kajian mengenai regionalisme yang terkait dengan prediksi dan perintah serta pembeda berdasarkan kepada bobot yang diberikan satu sama lain negara atas institusi regional tersebut. Apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang akan terjadi dengan tingkatan kerjasama?

Artikel mengenai elemen dari perintah yang mendominasi yang secara berkala diperoleh dari pandangan yang menyatakan bahwa globalisme tidak bisa dielakkan terlibat dalam hubungan eksploitatif antara utara dan selatan, sehingga beberapa region di wilayah selatan harus lebih mendorong pembangunan hubungan ekonomi dan politiknya diantara mereka satu sama lain. Teori dependensi adalah salah satu yang paling direkomendasikan. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat para strukturalis, seperti Rajni Kothari.

“Ada kebutuhan untuk kerja sama regional yang lebih besar di antara berbagai negara-negara kecil dan lemah di dunia, mengumpulkan sumber daya finansial mereka, politik dan militer, ke dalam struktur kekuasaan dunia atas dasar itu, dan pada akhirnya akan mengubah sistem melalui mana segelintir negara mampu mendominasi dunia”

Sedikit perbedaan argumen mengenai prediksi dan perintah diajukan oleh Bertrand Report pada tahun 1985, yang merupakan pengecualian dari pengamatan sebelumnya bahwa tidak ada tulisan signifikan mengenai regionalisme sebagai fenomena umum telah diproduksi sejak pertengahan 1970-an. Bertrand mengutuk pembangunan dan perjanjian yang dibuat oleh PBB dengan kecenderungan mereka untuk apa yang dia sebut 'sektoral fungsionalisme', dan 'remote control oleh anggota staf yang tinggal di ibukota yang lebih besar' untuk mendapatkan dukungan yang lebih kuat, lebih baik yang ditentukan oleh pengaturan regional. Yang dibutuhkan adalah pengembangan dari suatu 'organisasi dunia generasi ketiga' yang ditransfer secara bertanggungjawab dan bersifat penting bagi pembangunan ekonomi di tingkat regional.

Katagori kelima dari jenis kajian mengenai regionalisme merupakan yang terakhir. Artikel Roger Masters mengenai multi-bloc model dari sistem internasional mungkin dapat dijadikan contoh. Ia menerima kemungkinan bahwa region mungkin akan muncul lebih jelas tanpa memeriksa bukti-bukti untuk ini, dan tanpa menetapkan indikator regionalisme, dan tidak secara eksplisit normatif meskipun dapat diperdebatkan bahwa kekhawatiran atas itu tersirat. Kesimpulannya, bagaimanapun, mendorong dari sudut pandang dari mereka yang mungkin mendukung konsep regionalisme untuk banyak alasan.

Masters menyimpulkan bahwa di dunia yang multi-bloc, hanya ada satu hal yang dapat berpengaruh atas kuatnya suatu region, suatu region akan kuat jika memiliki stabilitas yang signifikan dalam mendorong elemen-elemen yang terdapat di dalam regional tersebut. Di lain pihak, tidak ada alasan untuk takut dengan pembangunan karena pada dasarnya telah ada institusi yang akan menyokongnya. Pada akhirnya akan tercipta international society yang stabil dan damai. Artikel Masters ini bahkan telah muncul pada tahun 1961, bukan pada tahun 1980 seperti yang diprediksi kebanyakan orang.

Banyaknya pertanyaan yang muncul mengenai regionalisme dari diskusi yang sebelumnya menggiring kajian atas regionalisme memasuki masa kemunduran pada tahun 1970-an. Proses dan penyebab kemunduran itu sendiri masih dijadikan perdebatan hingga kini. Kajian akademik di bidang hubungan internasional, seperti pada bidang ilmu sosial lainnya, sangat mampu untuk mengatur cara berpikir yang tidak memihak pada kubu manapun di tatanan dunia yang sesungguhnya.

Di satu sisi, regionalisme sebagai suatu fenomena telah menerima sedikit perhatian setelah era 1970-an. Di lain pihak, bagaimanapun juga, bukti nyata yang muncul di era 1980-an menunjukkan bahwa organisasi regional jumlahnya telah meningkat drastis dengan kecepatan tinggi dan fakta bahwa pemerintah menjadi lebih terlibat dalam organisasi regional dibandingkan dalam organisasi global.